REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aksi terorisme di wilayah manapun tidak dibenarkan dalam Islam. Pelaku teror hanya akan membuat antipati terhadap Islam.
"Ketika masjid dan jamaahnya menjadi target teror bom, maka ini tidak akan ada empati bagi pelakunya karena melukai nurani dan akal sehat. Jika perang tidak begitu," ujar pengamat terorisme dari The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya, baru-baru ini.
Dia mengatakan, pemilihan target dan momentum teror bom tentu memiliki kalkulasi politik. Pasalnya bagi mereka aksi bom bukan bentuk keputusasaan.
"Makin strategis obyek yang menjadi target teror bom, makin besar pula motif politik dan pesan teror yang ingin disampaikan oleh aktor teror," kata dia.
Bisa jadi, kata dia, target teror adalah orang atau obyek vital strategis dari pihak yang dianggap musuh oleh pelaku teror, atau juga di luar target di atas (acak). Dalam konteks kekinian, peristiwa yang terjadi di Istambul, Dhaka, Kuala Lumpur, Riyadh sebagai aksi yang logis bagi elemen ISIS.
Menurut Harits, aksi-aksi di beberapa kota di atas memberikan pesan kuat tentang kekuatan teror produk IS untuk mengekstraksi dinamika politik global versi ISIS.
"Analisa saya (bisa benar atau salah), ISIS ingin menarik banyak negara dalam perang besar (asimetris) dengan menjadikan Suriah sebagai episentrumnya," ujarnya.
Baca juga, Revisi UU Terorisme Dinilai Bisa Memanjakan BIN.
Namun bisa jadi itu hanya sekadar target kecil untuk menampilkan ke dunia bahwa ISIS melalui semua elemen pendukungnya masih eksis. Potensi serangan atau aksi teror menjadi keniscayaan di berbagai belahan dunia selama di sana ada para pendukung dan simpatisan.