REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Kajian Timur Tengan Universitas Indonesia, Abdul Muta'ali, menilai, insiden bom bunuh diri yang terjadi di area parkiran Masjid Nabawi, Madinah, Arab Saudi, justru menandakan aktor utama terorisme global bukanlah muslim, atau penganut agama Islam.
Selain itu, Abdul menyatakan, adanya indikasi pelaku pengeboman di Madinah adalah orang syiah juga tidak dapat diterima. Pasalnya, Abdul menilai, pada hari yang bersamaan Masjid Qotip, yang mayoritas jamaahnya adalah Syiah, juga dibom.
Begitupun sebaliknya, Abdul menyebut, indikasi pelaku pengeboman di Masjid Qotip adalah penganut Wahabi ekstrim juga tertutup.
''Jadi, ruang analisis pelaku bom bunuh diri Madinah 'bombernya' orang Syiah, kurang bisa diterima, karena masjid Syiah saja juga dibom. Ruang analisis pelaku bom masjid Qotip adalah orang wahabi ekstrim juga tertutup, karena di sisi lain, di area parkiran masjid Sunni juga ada bom bunuh diri,'' ujar Abdul di Jakarta, Kamis (7/7).
Lebih lanjut, Abdul menjelaskan, insiden yang terjadi di Masjid Nabawi menandakan, agama khususnya Islam bukanlah aktor utama terorisme global. ''Agama Islam bukanlah aktor utama terorisme global. Seradikal-radikalnya muslim, Masjid Nabawi tidak mungkin menjadi target utama peledakan,'' kata Abdul.
Terorisme global, lanjut Abdul, terjadi karena adanya perkawinan kepentingan industri dan politik ideologi zionisme. Abdul pun meragukan, jika pelaku bom bunuh diri di Madinah adalah kelompok radikal Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Pasalnya, hingga saat ini, ISIS belum menyatakan klaim atas insiden tersebut.
''Apakah ISIS pelakunya? yang paling mudah memang 'tunjuk hidung ISIS'. Hampir semua ledakan bom dua tahun terakhir ini, ISIS mengklaim paling bertanggung jawab. Namun, untuk bom Madinah, belum ada sikap resmi siapa yang bertanggung jawab. Pembahasan soal ISIS tidak pernah tuntas. Dalam riset kami, ISIS itu multi ideologi dan kawasan,'' tuturnya.