Jumat 08 Jul 2016 10:24 WIB

Kapan Harus Berpuasa Enam Hari Syawal? Simak Penjelasan ini

Ratusan umat Muslim berjalan meninggalkan Masjid Argam Bab Al Rahman Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (6/7), usai melakukan ibadah shalat Idul Fitri. (Republika/Darmawan)
Ratusan umat Muslim berjalan meninggalkan Masjid Argam Bab Al Rahman Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (6/7), usai melakukan ibadah shalat Idul Fitri. (Republika/Darmawan)

REPUBLIKA.CO.ID, Berpuasa enam hari di sepanjang Syawwal, adalah salah satu sunah Rasulullah SAW yang utama. Dalam hadis riwayat Muslim dan sejumlah imam pengarang Kitab Sunan dari Abu Ayyub al-Anshari disebutkan, bahwa keutamaan berpuasa enam hari tersebut, akan menyempurnakan puasa Ramadhan. Fadilahnya, seperti berpuasa satu tahun penuh.

Berangkat dari hadis tersebut, ungkap Syekh Dr Muhammad Mushlih az-Za’abi, dalam kitabnya yang berjudul Shiyam Sittin Min Syawwal; Dirasah Haditsiyyah Fiqhiyyah para ulama mazhab memiliki penyikapan dan cara pandang yang berbeda. Muncul perbedaan pendapat menyoal hukum puasa enam hari selama Syawwal.

Pendapat yang pertama menyatakan, hukum berpuasa enam hari tersebut adalah sunat. Mayoritas ulama mazhab mengamini opsi ini. Mereka terdiri Mazhab Syafi’i, Hanbali, sebagian dari Mazhab Hanafi dan Maliki.

Bagi kelompok yang kedua, hukum berpuasa enam hari di Syawal adalah makruh. Ini merupakan salah satu opsi di kalangan Mazhab Hanafi dan Maliki.

Sedangkan pendapat yang ketiga mengatakan, hukum puasa enam hari di Syawwal ialah makruh selama dilakukan secara berurutan. Bila dilaksanakan tidak berurutan dan acak, maka masih menurut kelompok yang ketiga, hukumnya boleh. Ini merupakan pandangan sebagian Mazhab Maliki dan Abu Yusuf dari Mazhab Hanafi.  

Sementara pendapat keempat menyatakan makruh bila dilakukan mulai 1 Syawwal dan lima hari berikutnya secara berurutan. Akan tetapi, jika dilaksanakan setelah 1 Syawwal, baik secara berurutan atau terpisah, maka hukumnya boleh. Pendapat ini diutarakan oleh sebagian Mazhab Maliki dan Hanafi.  

Lantas, bagaimana cara pelaksanaan puasa enam hari Syawwal? Syekh az-Za’abi, kembali menjelaskan bahwa, para ulama yang menyatakan hukum berpuasa enam hari Syawwal adalah sunat, kembali berselisih pandangan, terkait tata cara puasa enam hari Syawwal.

Setidaknya ada tiga pendapat utama, yaitu pertama puasa tersebut dianjurkan setelah 1 Syawwal langsung tidak usah ditunda-tunda. Ini merupakan pendapat Imam Syafi’i, Ibn al-Mubarak, dan ulama lainnya.

Menurut mereka, lebih baik menyambung dan menyegerakan ibadah, tidak perlu menunda-nunda. Ingin berurutan atau terpisah, terserah. Tetap mendapat keutamaan sepanjang masih di Syawwal.

Kedua, tak ada ketentuan apakah harus berurutan atau terpisah. Hadis Abu Ayyub al-Anshari di atas, redaksinya mutlak.

Hendak berpuasa di awal, pertengahan, atau akhir Syawwal, tak mengapa. Baik berurutan atau pun terpisah-pisah. Ini adalah pendapat Imam Waki’, Imam Ahmad, dan lainnya.

Ketiga, pelaksanaannya tidak boleh langsung setelah 1 Syawwal dan separuh awal Syawwal. Akan tetapi, hendaknya dikerjakan bergandengan dengan puasa ayyam al-baidh (13,14,15 bulan Qamariyah).

Dengan demikian, berdasarkan pendapat ini, maka waktu pelaksanaan puasa enam hari Syawwal ialah 10, 11, 12, 13, 14, dan 15 Syawwal.

Pandangan ini dikemukakan oleh Ma’mar, Abd ar-Razzaq, Atha’ dan lainnya. Menurut mereka, hari-hari pertama Syawwal, adalah waktu untuk makan dan minum. Pun, keutamaan enam hari Syawwal itu mutlak selama sebulan penuh.

Lebih utama lagi, diakhirkan lalu digabung dengan berpuasa ‘belasan’ seperti tersebut di atas. Sehingga, memperoleh dua keutamaan sekaligus yakni puasa enam hari Syawwal dan ayyam al-baidh.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement