Jumat 08 Jul 2016 14:09 WIB

Operasi Pasar Daging Sapi Dikritik Hanya untuk Pencitraan

Rep: Sonia Fitri/ Red: Nur Aini
Warga membeli daging sapi saat operasi pasar yang digelar Kementan di Jalan Sunda, Jakarta, Ahad (21/2).   (Republika/Tahta Aidilla)
Warga membeli daging sapi saat operasi pasar yang digelar Kementan di Jalan Sunda, Jakarta, Ahad (21/2). (Republika/Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Operasi Pasar (OP) daging sapi yang dilakukan pemerintah secara intensif dinilai mengandalkan ukuran kesuksesannya pada partisipasi dan pencitraan, bukan pada penurunan harga.

Direktur Bincang-Bincang Agraria (BBA) Yeka Hendra Fatika mengamati, proses OP hanya berlangsung di kawasan Jabodetabek. "Sebagian OP dilaksanakan para pelaku usaha kolega Kementerian Pertanian dilakukan dengan penggunaan tekanan dan ancaman," katanya dalam keterangan tertulis, Jumat (8/7).

Sehingga, ada indikasi kuat pelaku usaha rela mengalami kerugian dengan menjual daging mengikuti harga patokan pemerintah. OP pun dipastikan tidak efektif bahkan hanya membentuk segmen pasar daging baru.

Di sisi lain, kata dia, regulasi jelas dapat mempengaruhi harga. Tapi regulasi yang keliru tidak akan menyelesaikan permasalahan malah justru memperumitnya. "Kementan terlalu mempolitisasi permasalahan daging dan  berlindung di balik data," ujarnya

Oleh karenanya, Kementan mesti mempertanggungjawabkan dana swasembada daging yang telah diluncurkan sejak 2005 hingga 2015 yang mencapai sekitar Rp 18 triliun lebih.  Implikasi dari penggunaan dana tersebut adalah populasi harus meningkat dan impor harus turun.

Tapi, ia menilai fakta yang terjadi justru sebaliknya. Besarnya dana swasembada sapi tidak diiringi degan pengingkatan populasi. Bahkan secara empiris, populasi terindikasi sangat jelas mengalami penurunan. Terlebih banyak sapi betina produktif yang dipotong untuk memenuhi tingginya permintaan. "Mestinya KPK turun untuk mengusut dan mengaudit penggunaan dana tersebut," katanya.

Ia pun mengajukan sejumlah rekomendasi solusi harga daging sapi yakni di antaranya mengambil kebijakan tanpa panik pun membangun koordinasi dan konsolidasi dengan para pelaku usaha jauh-jauh hari. "Pemerintah harus mampu memberdayakan potensi pelaku usaha, bukan memusuhinya, bahkan rajin menuduh kartel," katanya.

Solusi selanjutnya, pencabutan kuota impor dapat diganti dengan sistem tarif. Intinya pemerintah memberikan keleluasan kepada pelaku usaha untuk melakukan impor sapi dan daging, asal harga tidak bergejolak.

Koordinasi dengan pelaku usaha bidang daging juga harus disertai efisiensi. Kebijakan operasionalisasi kapal ternak dinilai tidak menyelesaikan masalah bahkan menimbulkan masalah baru. Selain itu, RPH-RPH pemerintah tidak boleh lagi dikelola atau dikerjasamakan kepada pihak swasta, melainkan harus dilaksanakan oleh pemerintah sendiri.

"Pola Sentra Peternakan Rakyat (SPR) perlu dilanjutkan untuk memperkuat kelembagaan peternak dan meningkatkan keterampilan peternak sapi," ujarnya. SPR juga dinilai efektif mendeteksi populasi sapi secara akurat dan mudah.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement