REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) , Agus Santoso menyambut baik permintaan dibahasnya kembali pembatasan transaksi uang tunai. Menurut dia, meski usulan pembatasan transaksi uang tunai kini telah menjadi Rancangan Undang-undang, namun belum ada kepastian RUU tersebut disahkan.
“RUU itu sudah dibahas, posisinya di Pemerintah dan juga Baleg, nah persoalannya apakah masuk Prolegnas atau tidak,” ujar Agus saat dihubungi Ahad (10/7).
Karena itu, Agus mengatakan saat ini PPATK dalam posisi menunggu pemerintah dan DPR terkait usulan pembatasan transaksi uang tunai tersebut. Padahal, kata Agus, pembahasan RUU tersebut telah dilakukan pada 2015 lalu dan juga masuk dalam rencana Prolegnas 2014-2019.
“Sebetulnya kita minta itu cepet diberlakukan supaya masuk ke prolegnas 2016, harusnya ya masuk karena dulu masuk 2014-2019,” ujarnya.
Agus mengatakan, pembatasan transaksi uang tunai sudah mendesak untuk dilakukan mengingat sejumlah kasus tindak pidana korupsi yang menggunakan uang tunai. Ia mencontohkan kasus gratifikasi yang ditangani KPK yang hampir sebagian besar dilakukan menggunakan uang tunai.
“Kan kita lihat ya suap atau sogok yang ditangkep itu kan dalam bentuk tunai. Nah kalau ada pembatasan tunai kan jadi ada sanksi. Kita dorong memang sebetulnya, sudah urgent sebenarnya,” kata Agus.
Lagipula kata dia, banyak keuntungan dari rencana pembatasan transaksi uang tunai di Indonesia. Antara lain, mengarahkan masyarakat untuk memiliki rekening di bank yang tentu mendukung program less cash society atau masyarakat bertransaksi tanpa tunai.
“Dampaknya juga mencegah masyarakat dari uang palsu, selain juga pencegahan suap sebetulnya, kelima BI lebih irit nyetak uangnya,” ujar Agus.
Adapun jumlah pembatasan uang tunai sendiri seperti yang diusulkan PPATK yakni sebesar Rp 100 juta. “Rp 100 juta usulan kita, jadi misalnya kalau beli mobil Rp 400 juta, yang boleh DP itu Rp 100 juta, sisanya mesti harusnya transfer,” kata dia.