REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam empat bulan terakhir, setidaknya sudah empat kali Warga Negara Indonesia (WNI) diculik dan disandera kelompok teror, yang diduga kuat dilakukan kelompok Abu Sayyaf. Terakhir, tiga WNI asal Flores Timur diculik dan disandera saat tengah berlayar di sekitar perairan Lahad Datu, Malaysia, Sabtu (9/7) waktu setempat.
Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Ridlwan Habib, berharap, pemerintah bisa lebih tegas dalam melakukan pendekatan dengan kelompok teror tersebut. Pemerintah pun diharapkan bisa terus melakukan pendekatan kepada pemerintah Filipina memberikan izin kepada TNI untuk bisa masuk dan membebaskan WNI yang tengah disandera.
"Sudah cukup soft diplomacy. Kelompok Abu Sayyaf mengingkari perjanjian, saatnya diplomasi senjata," ujar Ridlwan saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (12/7).
Upaya agar TNI bisa masuk ke wilayah Filipina dan melakukan operasi pembebasan sandera, ujar Ridlwan, dapat saja disambut baik oleh Presiden Filipina, Rodrigo Duterte. Terlebih, selama ini sikap Duterte cukup keras terhadap kelompok-kelompok bersenjata dan organisasi kriminal.
Ridlwan pun menyebut, kejadian penculikan dan penyanderaan WNI yang sudah terjadi berulang kali ini sudah tidak bisa ditolerir. "Ini sudah dalam batas tidak bisa ditoleransi. Sudah saatnya operasi militer," kata Ridlwan, yang juga menjabat sebagai Koordinator Eksekutif Indonesia Intelligence Institute tersebut.
Menurut Ridlwan, jika menilik lokasi penculikan, yang berada di sekitar perairan Lahad Datu, Sabah, Malaysia, memang banyak warga Sulu, yang berasal dari Filipina Selatan, bermukim di wilayah tersebut. Alhasil, jika ingin menculik WNI, kelompok Abu Sayyaf dapat dengan mudah melakukan aksinya di sana.
"Wilayah Lahad Datu itu masuk sabah. Namun, berbatasan dengan kawasan Sulu, Filipina. Banyak warga Sulu yang berukim di sana," ucap dia.