REPUBLIKA.CO.ID, AMSTERDAM -- Pengadilan Tetap Arbitrase (PCA) pada Selasa (12/7) mengeluarkan keputusan bahwa Cina tak memiliki hak sejarah atas perairan Laut Cina Selatan (LCS) dan bahwa negara itu telah melanggar hak-hak kedaulatan Filipina dengan aksi-aksinya yang dilakukannya.
Keputusan itu membuat marah Beijing yang menolak kasus tersebut dan menyebutnya sebuah lelucon. Cina yang memboikot dengar pendapat di PCA di Den Haag berjanji lagi tidak akan mematuhi keputusan tersebut dan menyatakan angkatan bersenjatanya akan pertahankan kedaulatan dan kepentingan maritimnya.
Kantor berita Cina Xinhua melaporkan beberapa saat sebelum keputusan itu diumumkan bahwa sebuah pesawat sipil Cina sukses melakukan pengujian kalibrasi di dua bandar udara baru di Kepulauan Spratly yang disengketakan.
Kementerian Pertahanan Cina mengumumkan bahwa sebuah kapal penghancur baru yang dilengkapi peluru kendali diresmikan di sebuah pakalan di Provinsi Hainan, pulau di bagian selatan China, yang mempunyai tanggung jawab atas wilayah LCS.
"Putusan ini merupakan sebuah tamparan hukum yang menghancurkan atas klaim-klaim yurisdiksi Cina di Laut Cina Selatan," kata Ian Storey, dari ISEAS Yusof Ishak Institute, Singapura, kepada kantor berita Reuters.
"Cina akan menanggapi dengan amarah, tentu dengan retorika dan barangkali melalui aksi-aksi agresif di laut."
Cina mengklaim sebagian besar perairan yang kaya minyak itu. Perdagangan sekitar 5 trilun dolar AS yang diangkut dengan kapal-kapal melintasi perairan tersebut tiap tahun. Tetangga-tetangga Cina, seperti Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam juga merupakan para pihak yang turut mengklaim.
Panel di PCA mengatakan tak ada basis hukum bagi Cina untuk mengklaim hak sejarah atas sumber daya di dalam apa yang disebut garis putus-putus sebanyak sembilan yang mencakup banyak wilayah LCS.
Dikatakan, Cina telah mencampuri hak-hak mencari ikan tradisional Filipina di Scarborough Shoal, salah satu dari ratusan pulau karang di laut itu, dan telah melanggar hak-hak kedaulatan Filipina dengan melakukan eksplorasi minyak dan gas dekat Reed Bank, tempat lain di kawasan tersebut.
"Tak satu pun dari pulau karang Cina di Kepulauan Spratly masuk dalam kategori zona ekonomi ekslusif 200 mil," tambahnya.