REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah serangan maut teror terjadi di Nice, Prancis. Truk berukuran besar ditabrakkan ke kerumunan orang yang sedang merayakan Hari Bastille. Sebanyak 77 orang tewas dan lebih dari 100 orang luka luka.
"Ini sebuah serangan taktis yang direncanakan dengan baik dan berhasil mengecoh intelijen Prancis, " ujar analis terorisme Universitas Indonesia (UI) Ridlwan Habib di Jakarta, Jumat (15/7).
Serangan ini menurut Ridlwan adalah bentuk atomization of terorist network, yakni penyerang bergerak seperti atom yang sendirian, tanpa harus berkoordinasi dengan pimpinan pusatnya. Bisa menggunakan senjata apa saja, bahkan sebuah truk.
Ridlwan menjelaskan, teori jejaring teroris atom ini berbeda dengan era Al Qaeda yang mensyaratkan serangan terkomando, terencana dan terstruktur. Kalau sekarang, kata dia, bisa kapan saja, dimana saja, dan oleh siapa saja.
Yang harus diwaspadai adalah apabila model serangan ini ditiru oleh kelompok teroris lain di luar Prancis, termasuk di Indonesia. "Era bahan peledak sudah selesai, sekarang teroris bisa menggunakan apapun untuk melukai targetnya," ujar Ridlwan.
Alumni S2 Kajian Stratejik Intelijen UI itu mengingatkan bahwa ancaman teror di Indonesia belum berakhir. "Kejadian di Solo kemarin ada lagi, sekarang model Nice Prancis ini harus juga diwaspadai, " kata dia.
Koordinator eksekutif Indonesia Intelligence Institute itu menyebut koordinasi antar lembaga intelijen harus diperkuat. Termasuk sharing data dan informasi. Menurut Ridlwan tidak boleh ada ego sektoral, masing-masing harus saling menutupi kekurangan.