REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Prancis memperpanjang masa daruratnya tiga bulan lagi dan tetap menjalankan operasi pengamanan tingkat tinggi pascaserangan teroris pada 14 Juli 2016 waktu setempat.
Menurut keterangan tertulis dari Kedutaan Besar Prancis di Indonesia di Jakarta, Jumat (15/7), Presiden Francois Hollande memutuskan memanggil pasukan cadangan operasional untuk membantu jajaran kepolisian. Pagi ini di Paris, diselenggarakan rapat kabinet terbatas membahas masalah keamanan dan pertahanan.
Presiden Hollande juga mengatakan, Prancis menangis dan berduka, namun akan tetap lebih kuat dibanding kelompok fanatik. Serangan tersebut terjadi karena sebuah truk menabrak khalayak yang sedang berkumpul menyaksikan pertunjukan kembang api pada Perayaan Hari Nasional Prancis, tanggal 14 Juli ini.
Menurut laporan terakhir yang masih bersifat sementara, serangan tersebut menelan korban 80 orang, termasuk anak-anak. Disebutkan pula puluhan orang lainnya mengalami luka-luka, sekitar dua puluh di antaranya berada dalam kondisi kritis.
Pengemudi truk ditembak. Hingga kini, belum diketahui apakah ia memiliki kaki tangan di beberapa oknum. Pihak berwenang sedang memeriksa identitas sopir tersebut.
Menurut saksi, sopir truk yang menabrakkan kendaraannya ke kerumunan massa di Nice, Prancis menembakkan pistol beberapa kali sebelum ditembak mati polisi, kata seorang pejabat setempat pada Jumat.
Sementara itu, Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Marseille, Prancis menyampaikan bahwa sejauh ini tidak ada warga negara Indonesia (WNI) menjadi korban dalam serangan teror yang terjadi di Nice, Prancis Selatan pada Jumat (15/7) dini hari.
"Hasil penelusuran KJRI Marseille sejauh ini tidak ada WNI yang menjadi korban dalam serangan teror di Nice," kata pernyataan pers dari Kementerian Luar Negeri RI.
(Baca Juga: Presiden Prancis Yakin Serangan Nice Merupakan Aksi Teroris)