Selasa 19 Jul 2016 02:34 WIB

Jumlah Warga Miskin Indonesia Disebut Berkurang

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Yudha Manggala P Putra
Warga miskin.
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Warga miskin.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jumlah warga miskin di Indonesia per Maret 2016 disebut berkurang hingga 500 ribu menjadi total 28,01 juta orang. Peningkatan pendapatan dan pengendalian harga jadi faktor utama.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin menjelaskan, dengan garis kemiskinan Rp 354.386 per kapita per bulan pada Maret 2016, jumlah penduduk miskin mencapai 28,01 juta orang atau 10,86 persen. Jumlah ini berkurang 500 ribu orang dari 28,51 juta orang per September 2015 dan berkurang 580 ribu orang dari 28,59 juta orang Maret 2015.

Jumlah warga miskin perkotaan turun menjadi 10,34 juta orang pada Maret 2016, berkurang 280 ribu orang dari 10,62 juta pada September 2015 dan berkurang 310 ribu orang dari 10,65 juta orang pada Maret 2015. Pun jumlah warga miskin pedesaan yang menjadi 17,67 juta orang, berkurang 220 ribu orang dari 17,89 juta orang pada September 2015 dan berkurang 270 ribu orang pada Maret 2015 yang mencapai 17,94 juta orang.

Penurunan jumlah warga miskin ini, kata Suryamin, dipengaruhi beberapa faktor. Pertama, inflasi umum yang rendah periode September 2015 hingga Maret 2016 sebesar 1,71 persen.

Secara nasional, rata-rata harga daging ayam ras turun 4,08 persen menjadi Rp 36.203 per Maret 2016 dari Rp 37.742 per September 2015. Selain itu, harga telur ayam ras dan minyak goreng masing-masing turun 0,92 persen dan 0,41 persen.

Tingkat penangguran terbuka (TPT) Indonesia pada Februari 2016 juga turun menjadi 5,50 persen dibanding Agustus 2015 yang mencapai 6,18 persen. Selain itu, nominal rata-rata upah buruh tani per hari pada Maret 2016 meningkat 1,75 persen menjadi Rp 47.559 dari Rp 46.739 per hari pada September 2015.

Sementara upah buruh bangunan per hari per Maret 2016 naik 1,23 persen menjadi Rp 81.481 dari Rp 79.657 per September 2015. ''Kalau pendapatan naik dan harga terkendali, kemiskinan berkurang,'' kata Suryamin.

Ditanya soal penurunan kemiskinan yang tidak sebanding dengan pertumbuham ekonomi, Suryamin mengatakan

pertumbuhannya harus dilihat dari berbagai sisi. Pertumbuhan ekonomi yang diukur dari sektor jasa dengan teknologi tinggi tapi belum bisa menyeerap pekerja level bawah, belum tentu menaikkan pendapatan masyarakat miskin menengah bawah. Maka harus dilihat pula dari distribusi pendapatannya.

Jikapun harga bahan bakar minyak (BBM) naik, pendapatan negara juga naik dan tidak langsung meningkatkan jumlah penduduk miskin. Seban saat ada peningkatan pendapatan, pemerintah bisa mengalokasikannya untuk pembangunan infrastruktur sehingga serapan tenaga kerja bisa terus meningkat. Begitu pula dana desa yang Suryamin duga bisa membawa dampak positif. ''Karena itu, dana desa harus dikelola dengan tepat,'' kata dia.

Bantuan sosial dan aneka subsidi pada layanan umum jadi peningkatan pendapatan. Bantuan sosial cukup bisa mengeluarkan masyarakat dari kemiskinan.

Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, M. Sairi Hasbullah menjelaskan, di desa, buruh tani, petani gurem, pekerja informal di desa dan kota tentu tidak secara langsung terpengaruh kebijakan makroekonomi seketika, baru tiga atau empat tahun. ''Ada proses yang akhirnya terasa kepada mereka,'' kata dia. Dilihat dari provinsi, Jawa Barat dan Jawa Timur turun cukup signifikan dan DKI naik sedikit. Angka kemiskinan DKI sendiri sudah rendah sehingga tingkat naik turunnya sulit diprediski karena sudah di keraknya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement