REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang pria ditembak Satuan Tugas (Satgas) Tinombala di sekitar kawasan hutan di Poso, Sulawesi Tengah, Senin (18/7) sore. Pria tersebut diduga kuat merupakan pemimpin gerakan teror Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Santoso alias Abu Wardah, yang selama ini tengah diburu oleh pihak keamanan.
Ketua DPR RI, Ade Komarudin, pun mengungkapkan apresiasi terhadap pihak kepolisian atas strategi yang diterapkan dalam upaya mereka menangkap Santoso. Menurut Ade, strategi yang digunakan pihak kepolisian adalah dengan menutup akses logistik terhadap kelompok Santoso. Strategi ini, tutur Ade, sempat juga digunakan saat aparat kemanan menumpas pemberontakan DI/TII.
''Jadi mereka di sini tidak punya akses mendapat logistik, ini cara, menurut saya, cara cerdas untuk menangkap teroris seperti sekarang,'' kata Akom, sapaan akrab Ade, kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (19/7).
Tidak hanya itu, secara khusus Ade juga menyampaikan apresiasi terhadap kinerja Kepolisian dalam keberhasilan menangkap Santoso.
''Kami harus harus memberi apresiasi terhadap kepolisian atas prestasinya ini. Kami apresiasi pak Tito (Kapolri Jenderal Pol, Tito Karnavian) dan jajarannya yang dapat menangkap Santoso dengan elegan,'' kata politisi Partai Golkar tersebut.
Kendati begitu, Akom menegaskan, meskipun pria yang diduga Santoso tersebut sudah tertangkap, namun upaya memutus jaringan terorisme di Indonesia belum sepenuhnya selesai. Penyelasaian masalah terorisme, tutur Akom, tidak bisa hanya menggunakan pendekatan keamanan.
''Saya pastikan tidak (terputusnya jaringan teroris di Indonesia pasca kematian Santoso). Urusan terorisme ini harus diketahui akar masalahnya dimana. Pendekatannya bukan hanya keamanan tapi juga pendekatan ideologi, pendidikan, agama,'' tutur Akom.
Di sisi lain, penangkapan terhadap pria diduga kuat Santoso ini, lanjut Akom, dapat memicu para anggota DPR untuk segera mempercepat pembahasan revisi UU Terorisme. Saat ini, DPR memang tengah berupaya menyelesaikan revisi UU Terorisme melalui Panitia Khusus (Pansus).
''Tapi untuk soal konten (revisi UU Terorisme), karena Indonesia negara demokrasi, maka semua pemangku kepentingan harus memperjuangkan seluruh pandangan. Tentu UU ini harus dapat mengakomodir semua kepentingan itu,'' katanya.