REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Maura Linda Sitanggang, mengatakan belum ada indikasi keterlibatan manajemen RS swasta dalam kasus vaksin palsu. Hingga saat ini, kepolisian hanya menyebut adanya oknum yang terlibat dalam rantai distribusi vaksin palsu.
"Sampai saat ini masih belum ada indikasi keterlibatan manajemen RS dalam kasus vaksin palsu. Pihak kepolisian baru menyebut adanya oknum saja, " ujar Linda kepada wartawan di Gedung Kemenkes, Selasa (19/7).
Linda meminta masyarakat tidak menebak-nebak kepastian status pidana para tersangka dan RS karena hal tersebut akan sangat tergantung hasil penyidikan Bareskrim Mabes Polri. Ia juga meminta agar oknum yang menjadi tersangka tidak bisa disangkutpautkan dengan etika profesi.
"Intinya jangan berandai-andai. Oknum yang dimaksud ya oknum, bukan oknum siapa atau yang mana," tambah Linda yang juga menjabat sebagai ketua satgas vaksin palsu ini.
Sebelumnya Polri merinci 23 orang tersangka kasus vaksin yang memiliki peran masing-masing yakni produsen (enam tersangka), distributor (sembilan tersangka), pengumpul botol (dua tersangka), pencetak label (satu tersangka), bidan (dua tersangka) dan dokter (tiga tersangka).
Atas perbuatannya, seluruh tersangka dijerat dengan UU Kesehatan, UU Perlindungan Konsumen, dan Pasal 345 KUHP tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dengan ancaman hukuman di atas 10 tahun penjara.
Pada Kamis (14/7) Kemenkes membuka identitas 14 fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) penerima vaksin palsu. Mayoritas fasyankes berada di Bekasi.
Adapun 14 fasyankes yang dimaksud adalah RS DR Sander (Bekasi), RS Bhakti Husada (Cikarang, Bekasi), Sentral Medika (Gombong), RSIA Puspa Husada, Karya Medika (Tambun, Bekasi), Kartika Husada (Bekasi), Sayang Bunda (Bekasi) , Multazam (Bekasi), Permata (Bekasi), RSIA Gizar (Cikarang, Bekasi), Harapan Bunda (Kramat Jati, Jakarta Timur), Elizabeth (Bekasi), Hosana (Cikarang) dan Hosana (Bekasi).