Matahari bersinar terang. Hanya sekitar lima derajat kemiringan dari atas kepala. Waktu menunjukkan sekitar pukul 13.00 Waktu Indonesia Timur (WIT). Hanya sekitar 100 meter lagi, bus yang kami tumpangi akan melintas keluar dari perbatasan Negeri Morela menuju Negeri Mamala di Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
Namun dari dalam bus, terlihat di seberang gapura perbatasan, puluhan ibu-ibu berdiri di sisi kanan kiri jalan. Sebagian tangannya terlihat mengepal sesuatu. Entah apa yang dikepal, belum terlihat jelas.
Bus terpaksa berhenti dan sopir menanyakan sesuatu. “Ada apa dihentikan? Kami akan menuju Kota Ambon.”
Sejenak kemudian seorang lelaki dewasa memberitahukan bahwa warga Negeri Mamala tidak mengizinkan bus dari Negeri Morela melintasi wilayahnya. Padahal sebelumnya, saat menuju Morela, bus pun melintasi Mamala.
Akhirnya kami turun dan menanyakan penyebab dihentikannya bus dan pelarangan melintas batas gapura kedua negeri. Negeri adalah sebuah sebutan untuk desa di Provinsi Maluku. Kepala desa disebut dengan istilah raja.
Seorang mama, sebutan ibu untuk warga Maluku, langsung membuka percakapan, saat kami berdiri di bawah gapura.
“Ale berasal dari mana?”
“Beta dari Jakarta, mama.”
“Ale, mau ke mana?”
“Beta mau ke Ambon.”
”Ale, orang apa? Orang Morela toh?”
“Bukan. Beta bukan orang Morela, tapi orang dari Jakarta.”
“Ale, tamunya siapa?”
“Mama, katong samua, tamunya Panglima.”
Kemudian dua orang petugas keamanan dari Kodam XVI/Pattimura, menggunakan seragam lapangan loreng, turun dari sepeda motor trailnya. Salah satunya menjelaskan bahwa rombongan yang naik bus adalah tamu Panglima Kodam XVI/Pattimura, dan berasal dari Jakarta.
“Mama, kas katong lewat,” ujar salah seorang petugas. Itulah peristiwa yang dialami penulis ketika mengunjungi dua desa yang bertikai pada September 2015 lalu.
Apakah para mama itu langsung memberikan jalan? Ternyata tidak. Mereka masih tidak yakin dengan jawaban kami. Bahkan meminta diberikan kesempatan melihat ke dalam bus. Mereka mengira, kami membawa orang dari Morela.
Setelah mereka yakin bahwa tamu di dalam bus tidak membawa warga desa tetangga, mereka pun mengizinkan untuk melintas. Mama mama tetap berdiri di sisi kanan kiri jalan. Dan akhirnya kami tahu bahwa yang digenggam mereka sebagian adalah batu.