REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Rofi Munawar mengatakan, ia menyesalkan kebijakan pemerintah yang permisif terhadap pekerja asing.
"Misalnya adanya peraturan tidak harus menguasai bahasa Indonesia. Pembebasan visa terhadap negara-negara yang tidak potensial dan tidak menganut asas resiprokal," katanya, Jumat, (22/7).
Saat ini, ujar Rofi, bisa dipahami kegelisahan publik terhadap keberadaan pekerja asing apalagi di saat bersamaan tingkat pengangguran cenderung meningkat. Kondisi ekonomi juga mengalami pelambatan.
Adanya pekerja asing timbul akibat dari model bisnis yang mengikat dengan mensyaratkan seluruh material maupun pekerja proyek tersebut berasal dari negara mereka. Namun seringkali, dalam perkembangannya terbuka kemungkinan penggunaan pekerja asing ilegal untuk menekan biaya operasional.
Ironisnya secara faktual selama ini pergerakan para pekerja asing tidak mampu termonitor dengan baik oleh pemerintah karena lemahnya sistem dan kurang tegasnya penegakan hukum. Perusahaan yang mempekerjakan pekerja ilegal asing dapat dikenai tindakan tegas dan wanprestasi karena telah menyalahi peraturan dan ketentuan yang berlaku.
"Pemerintah harus bertindak tegas dan segera memperbaiki sistem terkait. Kementerian maupun lembaga terkait harus terintegrasi satu sama lain terkait sistem monitoring terhadap pekerja asing baik secara perizinan maupun keberadaannya," kata Rofi.
Jika tidak segera dilakukan monitoring terhadap pekerja asing akan muncul masalah yang berkepanjangan dan berlarut-larut.
Seperti diketahui beberapa waktu lalu petugas gabungan Kodim 0905 Balikpapan dan Kantor Imigrasi Balikpapan mengamankan 23 orang warga negara Cina di kawasan proyek PLTU Kariangau, Balikpapan, Kalimantan Timur. Mereka tidak bisa menunjukkan dokumen keimigrasian.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengungkapkan warga Cina paling sering melanggar aturan keimigrasian di Indonesia. Ada yang melanggar izin tinggal hingga ada yang terlibat aksi kejahatan seperti peredaran narkoba.