Jumat 22 Jul 2016 19:35 WIB

Kapolri Sebut tak Semudah Itu TNI Ikut Menindak Teroris

Rep: Mabruroh/ Red: Ilham
Kapolri Jenderal Tito Karnavian (kanan) bersama Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo
Foto: Antara/Basri Marzuki
Kapolri Jenderal Tito Karnavian (kanan) bersama Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan, tidak semudah itu bagi TNI untuk dapat ikut andil dalam pemberantasan terorisme. Hal tersebut disampaikannya terkait Draft UU Terorisme Pasal 43 di mana tentara berhak untuk menindak teroris.  

"Disikapi dulu, dipahami dulu, penindakan itu kan upaya yang mengandung risiko. Risikonya, kalau terjadi perlawanan dari tersangka maka mungkin akan ada korban. Bisa luka, bisa juga meninggal dunia," kata Tito di Mabes Polri Jakarta Selatan, Jumat (22/7).

Dalam konteks penegakan hukum, Tito mengatakan, jika sampai meninggal dunia harus dipertangung jawabkan sampai kapanpun. Sehingga yang dilakukan oleh aparat negara harus berhati-hati untuk tetap mematuhi rambu-rambu dan UU tentang HAM.

"Karena UU tentang HAM ini tidak memiliki kedaluwarsa, bisa sampai kapanpun, kemudian bisa berlaku retroaktif (surut)," ujar dia. Sehingga, kata dia, sebaiknya dilakukan dengan langkah-langkah atau secara tata hukum yang berlaku di tingkat nasional.

Tito mengatakan, meskipun dia teroris sekali pun, saat dia tidak melakukan perlawanan maka tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan berlebihan. "Harus berlandaskan asas proporsional. Nah ini anggota-anggota kita perlu berlatih, penegak hukum dilatih untuk itu, untuk melakukan tindakan-tindakan proporsional. Sedangkan doktrin dari teman-teman TNI umumnya yang saya pahami kill or to be kill," kata Tito.

Selain itu, ada juga tata cara Polri setiap kali melakukan penindakan, yakni melakukan olah TKP. Dalam olah TKP ini, Polri melakukan hal-hal teknis dengan cara yang amat detail, yakni bagaimana di sana juga melibatkan tim forensik, mempelajari di mana posisi senjata, posisi peluru, selongsongnya ada di mana, teknis penyitaan seperti apa, kemudian harus melanjutkan ke pengadilan.

Sebelum melakukan penggeledahan dan penyitaan harus ada izin peradilan. Tujuannya supaya perlindungan HAM benar-benar dapat diperhatikan dan dapat terjamin.

Polri harus berhati-hati denga pemahaman kata-kata penindakan. Jangan sampai penindakan disederhanakan ke penangkapan sehingga setelah itu diserahkan kepada penegak hukum. "Bisa saja itu nanti kalau salah cara menindak, cara menyita di lapangan, itu dapat berakibat teknis penyitaan yang salah, akan menghilangkan cain of evidance (rantai barang bukti)," katanya.

Karena itu, kata Tito, TNI harus memiliki kemampuan identifikasi, DVI, Labfor, dan medical Exanination Legal. "Nah berati kan harus dibangun lagi kemampuan seperti ini. Padahal di polisi sudah ada. Belum lagi pertanggungjawaban hukumnya jika nanti penyelidikannya salah," katanya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement