Jumat 22 Jul 2016 22:40 WIB

Penyanderaan Dinilai karena Lemahnya Pembangunan Pertahanan Maritim

Rep: Lintar Satria/ Red: Ilham
Pembangunan maritim (ilustrasi)
Foto: dok. Puspen TNI
Pembangunan maritim (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Empat kali penyanderaan terjadi selama enam bulan terakhir di Jalur Laut Filipina Selatan. Terakhir, sepuluh warga negara Indonesia (WNI) disandera di Kepulauan Sulu, selatan Filipina.

Pengajar Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syariif Hidayatullah, Robi Sugara mengatakan, penyanderaan terus terjadi karena pembangunan pertahanan maritim tidak sejalan dengan pembangunan ekonominya. Menurutnya, pemerintah Joko Widodo belum memprioritaskan keamanan di sektor tersebut.

"Pelabuhan-pelabuhan dibangun aspek keamanannya tidak diperkirakan, saya kira Abu Sayyaf mengambil kesempatan ini," katanya, Jumat (22/7).

Menurut Robi, kerja sama tiga negara Indonesia, Malaysia, dan Filipina tidak berjalan dengan baik. Karena dalam prosesnya, tidak didukung dengan anggaran yang memadai. Selain itu, belum ada perencanaan menyeluruh dalam kerja sama tersebut.

Pelarangan jalur berbahaya pun belum efektif karena jalur tersebut yang tercepat menuju Filipina Selatan. Selain itu, persoalan terbesarnya ada pada hubungan dengan militer Indonesia. Menurutnya, upaya kerja sama pemerintah Indonesia dengan Nur Mausuari dapat berjalan efektif jika tidak diganggu oleh pemerintah Filipina.

Robi mengatakan, kekuatan teroris dan perompak Abu Sayyaf cukup besar. Para perompak tersebut juga menguasai satu perkampungan. Hal ini tidak bisa disamakan dengan kelompok teroris Santoso yang tidak memiliki keahlian strategi. Negosiasi dengan melibatkan Nur Misuari yang mengetahui persis peta kelompok tersebut dianggap lebih efektif.

"Saya khawatir pemerintah Filipina mencoba membuyarkan negosiasi itu," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement