REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Semakin banyaknya anak yang menjadi penghuni rumah tahanan (rutan) dinilai mesti mendapat perhatian serius pemerintah. Dibutuhkan institusi pengganti rutan bagi anak yang berkonflik dengan hukum, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan hingga saat ini masih sangat minim jumlah institusi baru pengganti tempat penangkapan, dan penahanan anak.
"Padahal UU SPPA telah mendorong lahirnya empat lembaga yakni LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak), LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial), RPKA (Ruang Pelayanan Khusus anak) dan LPAS (Lembaga Penempatan Anak Sementara) sebagai Pengganti tempat penangkapan, Penahanan dan Lapas Anak," ujar dia, Ahad (24/7).
Namun yang menjadi masalah sampai saat ini LPAS dan LPKS belum banyak tersedia di seluruh Indonesia. Hanya beberapa wilayah di tingkat provinsi saja yang mulai memliki LPAS. Namun hampir sama dengan kondisi LPAS maka jumlah LPKS pun tidak ada di setiap kabupaten.
Akibatnya aparat penegak hukum seringkali bingung untuk merujuk anak yang bersangkutan akan ditempatkan. Anak pun terpaksa kembali ke rutan baik rutan yang dikelola oleh Dirjen Lapas maupun rutan yang dikelola Polri.
Pelanggaran atas hal ini jelas bertentangan dengan perintah UU SPPA dan pelanggaran atas hak anak. CJR merekomendasikan pemerintah harus mencari solusi transisi dalam masalah tempat penitipan bagi anak yang berkonflik dengan hukum jika lembaga-lembaga tersebut belum tersedia.
Semakin lama pemerintah membentuk LPAS, LPKS dan RPKA, maka potensi pelanggaran hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum akan makin terbuka lebar.