Senin 25 Jul 2016 09:53 WIB

Pengamat: Operasi Gerilya Terorisme, Beri Porsi Lebih ke TNI

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Bilal Ramadhan
Latihan perang TNI (ilustrasi)
Latihan perang TNI (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,‎ JAKARTA -- Bom bunuh diri di Mapolresta Solo, Jawa Tengah, dan tewasnya Santoso alias Abu Wardah di Poso, Sulawesi Tengah, dinilai meresonansi dinamika pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Terorisme.

Baik anggota panitia khusus DPR RI maupun publik dihadapkan pada salah satu wacana, yaitu perlunya keterlibatan TNI dalam porsi yang lebih dibandingkan saat ini. Dari pihak Polri, melalui pernyataan terbuka Kapolri Jendral Tito Karnavian mengisyaratkan ketidaksetujuannya keterlibatan TNI lebih dari porsi sekarang.

"Dalihnya potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM), abuse of power sampai soal tidak terakomodir dalam sistem peradilan pidana mengingat terorisme adalah tindakan pidana yang dikatagorikan kejahatan luar biasa," ujar pengamat terorisme Harits Abu Ulya, Senin (25/7).

Di sisi lain, TNI sudah sejak lama memiliki satuan-satuan antiteror, bahkan di setiap matra hal tersebut ada. Soal kemampuan pasukan antiterornya tidak perlu diragukan lagi. Namun demikian, kata Harits, hari ini mereka dihadapkan pada realitas dilematis.

"Ibaratnya TNI punya akal, mata, telinga, kaki dan tangan tapi ia diikat dan 'dipenjara' oleh UU hingga terjadi pengerdilan sedemikian rupa tanpa disadari dalam konteks keamanan dan pertahanan," ujarnya.

Harits menyebut publik kerap bertanya, teroris model apa yang harus ditangani Polri dengan Densusnya, dan teroris macam apa yang harus ditangani TNI dengan unit gultornya? Menurut dia, publik dibuat ambigu. Apakah ada jenis keragaman terorisme yang dianggap mengancam keamanan bangsa dan negara ini?

Dia mengatakan tidak ada salahnya publik belajar spesifik pada realitas empirik kasus Poso. Harusnya, kata Harits, publik bisa berpikir kenapa perburuan Santoso CS berlarut-larut? Penyelesaian Poso dinilai sangat terkesan ada ego sektoral yang begitu kuat.

"Komitmen demi negara tidak menjadi prioritas, menyelesaikan Poso lebih condong seperti mengelola proyek keamanan dengan segala keuntungannya," ujar Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) ini.

Dia menyarankan untuk operasi gerilya ke depannya sebaiknya tidak dilakukan oleh gabungan TNI Polri. "Tapi berikan porsi lebih untuk TNI karena dalam operasi gerilya ada tahapan-tahapan khusus beda dengan operasi biasa," ujar Harits.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement