Senin 25 Jul 2016 15:36 WIB

Pansus UU Terorisme: Polisi Dianggap Teroris Sebenarnya di Poso

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Ilham
Dua personil polisi bersenjata lengkap berjaga-jaga di jalan raya tepat didepan markas Polsek Kota untuk menghalau warga sipil menuju tempat kejadian perkara (TKP) adanya benda diduga berisi bom, di Poso, Sulawesi Tengah, Rabu (11/3).
Foto: Antara/Zainuddin MN
Dua personil polisi bersenjata lengkap berjaga-jaga di jalan raya tepat didepan markas Polsek Kota untuk menghalau warga sipil menuju tempat kejadian perkara (TKP) adanya benda diduga berisi bom, di Poso, Sulawesi Tengah, Rabu (11/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pansus RUU Terorisme Muhammad Syafii mengungkapkan, setelah meninggalnya Pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Santoso, suasana di Poso, Sulawesi Tengah sangat aman, tentram dan tidak ada persoalan. Itu karena polisi tak lagi di sana dan masyarakat di Poso tidak menganggap kelompok Santoso sebagai teroris.

Bagi masayarakat Poso, teror sebenarnya datang dari aparat kepolisian. Sebab, masayarakat di sana menyimpan dendam yang luar biasa kepada polisi akibat banyaknya aparat yang melakukan pelanggaran HAM berat.

"Para pendeta, ustad, tokoh masyarakat, tokoh pemuda sepakat dengan satu kata, mereka sangat benci dengan polisi karena telah lakukan pelanggaran HAM berat," kata Syafii di Gedung DPR RI Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (25/7).

Sebagai bukti, jenazah Santoso disambut oleh ribuan orang dari berbagai kalangan masyarakat. Bahkan dengan membawa tulisan "selamat datang syuhada". Sementara di sisi lain, mereka menginginkan agar aparat kepolisian angkat kaki dari kota mereka.

"Sekarang jadi siapa yang dianggap teroris? Santoso malah disambut sementara polisi disuruh angkat kaki," ucap Syafii.

Syafii melanjutkan, banyak tindakan polisi yang semena-mena dalam menangani tersangka kejahatan. Para polisi tersebut melakukan tindak kekerasan yang akibatnya malah menimbulkan kebencian.

"Penjahat kayak apa? dia datangi itu ke rumah malam-malam, lampu dimatiin lalu mata dilakban, mulut dilakban dibawa lalu dipukulin. Semua penanganan kayak gitu. Dan itu terjadi di depan anaknya, istrinya, itu timbulkan kebencian," kata Syafii.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement