REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Imdadun Rahmat menghormati keputusan Pengadilan Rakyat Internasional untuk pelanggaran HAM di Indonesia tahun 1965 (IPT 1965).
"Kami menghargai dan menghormati hasil IPT 1965 ini," ujar Imdadun usai menerima laporan tertulis IPT 1965 di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (25/7).
Menurutnya pihaknya akan memberikan dukungan untuk setiap perjuangan atas nama kemanusiaan, sesuai mandat sebagai "human rights defender".
Selain itu, hal tersebut juga sesuai dengan tugas pokok dan fungsi berdirinya Komnas HAM.
"Apapun yang terjadi kami akan tetap menjalankan tugas tersebut," kata Imdadun.
Komnas HAM sendiri, dia melanjutkan, sejatinya telah melakukan kajian dan penelitian tentang pelanggaran HAM pada tahun 1965 -1966 dan dalam kesimpulannya menyebut kejadian tersebut adalah "pelanggaran HAM berat".
Sejak tahun 2008 hingga 2012, Imdadun menyebut lembaga yang dipimpinnya itu telah bekerja keras mendapatkan bukti sampai memeriksa sebanyak 250 saksi terkait peristiwa berdarah yang disebut budayawan Franz Magnis Suseno sebagai kejahatan terhadap manusia selama 50 tahun terakhir itu.
Namun, hasil penelusuran Komnas HAM itu masih terganjal di Kejaksaan Agung. Akibatnya hingga saat ini kasus tersebut belum terselesaikan.
"Berkas kami tidak kunjung ditindaklanjuti dan naik ke tingkat penyidikan. Ini disebabkan ada beberapa perbedaan yang cukup mendasar terkait pemahman pasa dalam beberapa undang-undang dan terkait dengan hukum acaranya," jelasnya.
Sementara itu Komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidah menyebut apa yang dihasilkan IPT 1965 secara substansial tidak berbeda dengan apa yang didapat Komnas HAM.
"Mungkin di beberapa poin ada perbedaan. Namun yang perlu ditekankan adalah bawah kita semua berada pada sebuah perjuangan kemanusiaan dan moral itulah yang mendasari kerja kami," kata Roichatul.
Adapun putusan IPT 1965, yang nantinya juga akan diserahkan ke Presiden Joko Widodo, ditemukan pelanggaran HAM berat dalam wujud 10 tindakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Indonesia pada tahun 1965-1966 terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), terduga PKI, pendukung Presiden Soekarno, anggota radikal Partai Nasional Indonesia (PNI) beserta keluarga mereka.
Tindakan kejahatan kemanusiaan tersebut meliputi, pertama, pembunuhan terhadap sekitar 400.000 hingga 500.000 orang yang melanggar UU KUHP pasal 138 dan 140 dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Kedua adalah hukuman penjara tanpa proses hukum terhadap sekitar 600.000 orang. Ketiga, perbudakan, yaitu tahanan dipaksa untuk melakukan kerja paksa di bawah kondisi yang bisa dikategorikan sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan juga pelanggaran atas Konvensi mengenai Kerja Paksa tahun 1930.
Keempat, penyiksaan yang dilakukan dalam skala besar terhadap tahanan pada masa terjadi pembunuhan massal dan pemenjaraan. Kelima, yaitu penghilangan secara paksa, dilakukan dalam skala besar dan banyak nasib korban tidak pernah diketahui.
Keenam adalah kekerasan seksual secara sistemik yang tercatat pada laporan Komnas Perempuan, baik secara lisan maupun tulisan. Ketujuh, terjadi pengasingan, yaitu warga negara Indonesia yang paspornya disita ketika berada di luar negeri telah kehilangan hak kewarganegaraannya.
Kedelapan, tentang propaganda tidak benar atas versi resmi yang terjadi pada orang-orang yang ditangkap di Lubang Buaya. Kesembilan, adanya keterlibatan negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia dalam kejahatan kemanusiaan di Indonesia setelah peristiwa 30 September 1965 meskipun dengan derajat keterlibatan yang berbeda-beda.
Terakhir, Indonesia dituduh telah melakukan genosida, dengan maksud khusus untuk menghancurkan atau membinasakan kelompok tersebut sebagian atau keseluruhan.
Sidang IPT 1965 dilakukan di Den Haag Belanda pada 10-13 November 2015, dan dipimpin oleh Hakim Ketua Zak Yacoob, pernah menjadi hakim di Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan.
Pemerintah Indonesia sendiri menyambut dingin hasil IPT tersebut. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan menganggap putusan majelis hakim Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) itu tidak masuk akal.
Ia merasa keputusan IPT yang hanya berstatus sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM), tidak selayaknya disepadankan dengan pemerintah.