REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dunia Barat kerap memandang Islam sebagai agama monokultural yang tidak toleran. Padahal, jika mereka melihat kembali kehidupan umat Islam berabad-abad silam, penilaian itu jelas salah. Selama berabad-abad, pemerintahan Islam terbukti mampu mengatur dan mengelola masyarakat majemuk yang berasal dari berbagai latar belakang agama, etnis, dan budaya.
''Hidup di dalam lingkungan multietnis, multikeyakinan, dan multibahasa merupakan bagian dari pengalaman panjang umat Islam,'' kata jurnalis sekaligus pemerhati budaya asal Afghanistan, Nushin Arbabzadah, seperti dilansir onislam.net, beberapa waktu lalu.
Ia pun secara gamblang menjelaskan kehidupan umat Islam pada masa lalu saat hidup berdampingan secara damai dengan komunitas dzimmi. Secara istilah, dzimmi adalah orang non-Muslim merdeka yang hidup dalam negara Islam. Mereka mendapatkan perlindungan dan keamanan. Keberadaan dzimmi di daerah-daerah Islam mulai dikenal sejak zaman Rasulullah SAW hingga era modern. Dari waktu ke waktu, banyak kaum dzimmi yang masuk Islam. Kebanyakan dari mereka pindah agama secara sukarela.
Dalam Alquran surah at-Taubah ayat 29 disebutkan, orang-orang dzimmi diharuskan membayar pajak yang disebut jizyah sebagai imbangan bagi jaminan keamanan atas diri mereka. Orang-orang dzimmi yang telah membayar jizyah diperbolehkan menjalankan ibadah agama mereka, mendapatkan otonomi komunal, memperoleh perlindungan dari umat Islam jika ada serangan dari luar, terbebas dari wajib militer, dan terbebas pula dari kewajiban membayar zakat serta pajak-pajak lain yang dikenakan kepada warga Muslim.
Penggunaan istilah dzimmi bermula dari Piagam Madinah, yang menyatakan golongan tersebut (dzimmi) mendapat jaminan keamanan dan keselamatan. Sejak saat itu, warga Madinah, baik Muslim maupun Yahudi, mendapat perlindungan yang sama dari pemerintah. Piagam tersebut juga menegaskan bahwa pemeluk Islam dan Yahudi diperbolehkan memegang teguh ajaran agama masing-masing.
Secara keseluruhan, menurut Nushin, Piagam Madinah belum jelas benar mengatur soal hak dan kewajiban non-Muslim. Meski demikian, piagam ini memiliki semangat kesetaraan antara Muslim dan non-Muslim.
Jizyah, menurut dia, merupakan satu-satunya hukum yang memiliki dampak langsung terhadap kehidupan kaum dzimmi. Dalam perspektif peraturan Muslim pada abad pertengahan, pembayaran pajak kaum dzimmi merupakan sebuah pilihan. Sebab, mereka juga punya pilihan lainnya, yakni tidak membayar pajak, tapi harus memeluk agama Islam atau bahkan menolak sama sekali pembayaran pajak tersebut. Dokumen pengadilan Islam pada abad pertengahan menunjukkan, jizyah merupakan satu-satunya aturan spesifik bagi dzimmi agara para penguasa Muslim menjaga keselamatan mereka secara sungguh-sungguh.
Selain jizyah, kaum dzimmi juga harus mematuhi sejumlah aturan tambahan mengenai perilaku yang harus mereka tunjukkan di depan umum. Misalnya, mereka harus menunjukkan sikap hormat terhadap warga Muslim dan tidak membuat bising ketika merayakan upacara keagamaan. Kaum dzimmi juga harus membangun rumah yang lebih rendah dari tetangga Muslim mereka. Mereka pun dilarang berpakaian seperti Muslim.
Pada masa Dinasti Mamluk (1250-1517 M) di Mesir terdapat pula aturan untuk kaum dzimmi. ''Karena warna serban favorit umat Islam pada masa itu adalah hitam, putih, dan hijau, maka dzimmi Mesir tidak diperbolehkan menggunakan warna serupa. Mereka diminta menggunakan warna kuning, merah, dan biru,'' kata sejarawan Ibnu Taghribirdi.
Meski ada beberapa pembatasan terhadap kaum dzimmi, bukan berarti umat Islam yang berkuasa enggan bertoleransi terhadap mereka. Buktinya, kaum dzimmi tetap memiliki kebebasan dan otonomi dalam mengerjakan urusan administrasi komunal mereka secara internal. Mereka juga memiliki keleluasaan dalam menjalankan ritual agama mereka serta kebebasan dalam melaksanakan berbagai aktivitas, seperti pernikahan, pemakaman, dan pembagian warisan.
Bahkan, larangan agar kaum dzimmi tidak membangun rumah yang lebih tinggi dibandingkan rumah warga Muslim, menunjukkan bahwa Muslim dan dzimmi dapat hidup berdampingan dalam satu kawasan yang sama. Dalam praktiknya, aturan itu pun tak diterapkan secara kaku. Di beberapa kawasan di Timur Tengah pada abad pertengahan, kerap terlihat rumah saudagar atau kerabat istana yang beragama Kristen berada dalam posisi lebih tinggi ketimbang rumah umat Islam yang miskin. Tak ada sekat atau aturan apa pun yang melarang warga non-Muslim itu hidup di kota yang sama dengan Muslim. Demikian juga, tidak ada larangan bagi mereka untuk mengejar karier tertentu.