REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Survei yang dilakukan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) terhadap 3.900 responden di 34 provinsi di Indonesia menyebutkan bahwa lebih dari 60 persen masyarakat menilai tindakan korupsi semakin meningkat.
"Sebanyak 66,4 persen masyarakat yakin korupsi meningkat dibandingkan dua tahun sebelumnya. Mayoritas responden, 50,7 persen, menganggap itu terjadi karena penegakan hukum yang lemah," ujar Ketua Departemen Politik dan Hubungan International CSIS Vidhyandika D. Perkasa di Gedung Pakarti Centre, Jakarta, Selasa (26/7).
Vidhyandika melanjutkan selain penegakan hukum, 16,2 persen responden menganggap korupsi semakin marak karena tingginya budaya suap di masyarakat. Fenomena yang ditemukan CSIS adalah ada hampir 30 persen masyarakat yang menganggap wajar pemberian sesuatu seperti uang, barang, hadiah dan hiburan untuk memperlancar urusan di pemerintahan.
"Berdasarkan tempat tinggal, 31,7 persen warga yang cenderung menoleransi korupsi berada di desa dan 26,4 persen merupakan warga kota," tutur dia.
Sementara itu Direktur Eksekutif CSIS Philips J. Vermonte menduga faktor budaya setempat juga menentukan sikap masyarakat terhadap praktik korupsi. "Aspek budaya inilah yang membuat seseorang sulit membedakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan," tutur Philips.
Jika ditilik dari daerah, Provinsi Sumatera Utara menjadi wilayah yang paling toleran terhadap korupsi, di mana ada 37,7 persen warga yang menganggap korupsi wajar. Ini lebih tinggi dari rata-rata nasional yaitu 29,1 persen.
Adapun survei ini dilakukan CSIS pada 17--29 April 2016 dengan mengumpulkan data melalui wawancara tatap muka dengan kuesioner terstruktur. Dari 3.900 orang responden, 2.000 di antaranya terdistribusi di 34 provinsi dan 1.900 sisanya disebar lagi di lima provinsi khusus yang merupakan daerah prioritas pencegahan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu Aceh, Banten, Papua, Riau dan Sumatera Utara.