Rabu 27 Jul 2016 08:10 WIB

Parlemen India Loloskan UU Kontroversial Pekerja Anak

Rep: Gita Amanda/ Red: Teguh Firmansyah
Anak India di stasiun kereta api di New Delhi, India. (Ilustrasi)
Foto: AP/Manish Swarup
Anak India di stasiun kereta api di New Delhi, India. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Parlemen India pada Selasa (26/7) menyetujui undang-undang kontroversial tentang pekerja anak yang memungkinkan anak-anak bekerja untuk bisnis keluarga.

Undang-undang ini menimbulkan kekhawatiran luas PBB dan pendukung hak asasi bahwa akan mendorong lebih banyak anak-anak menjadi tenaga kerja.

Sepekan setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) disahkan oleh majelis tinggi parlemen, majelis rendah juga menyetujui ini. RUU sekarang akan diserahkan ke presiden untuk mendapat persetujuan sebelum benar-benar menjadi hukum.

Badan anak-anak PBB UNICEF memperingatkan keras hal ini. Sebuah laporan dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) juga menyebutkan bahwa jumlah pekerja anak di India usia lima hingga 17 tahun mencapai 5,7 juta dari 168 juta secara global.

Lebih dari setengah dari pekerja anak India bekerja di bidang pertanian. Lebih dari seperempatnya di bidang manufaktur seperti menyulam pakaian, menenun karpet atau membuat tongkat pertandingan. Anak-anak juga bekerja di restoran, toko, hotel dan sebagai pekerja rumah tangga.

Namun undang-undang baru ini akan memperluas larangan bagi anak di bawah 14 tahun bekerja di semua sektor. Bagi mereka yang melanggar akan dihukum dua kali lipat hukuman penjara dua tahun dan meningkatkan denda dari 20 ribu rupee menjadi 50 ribu rupee.

Kelompok hak asasi menyambut perubahan ini, namun ada kekhawatiran pada perubahan lain yang diusulkan pemerintah Perdana Menteri Narendra Modi. Seperti anak-anak diizinkan bekerja dalam bisnis keluarga di luar jam sekolah dan selama liburan jika tak mempengaruhi pendidikan mereka.

Anak-anak usia 15 hingga 18 diizinkan bekerja kecuali di pertambangan dan industri. Sebab tempat tersebut rawan terkena zat yang terbakar dan prosesnya yang berbahaya.

sumber : Reuters
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement