REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sudah dua dasawarsa peristiwa 27 Juli 1996 terjadi. Ketua Setara Institute Hendardi menyebut dalam peristiwa itu, tentara digunakan oleh penguasa saat itu menyerbu kantor PDI akibat kecemasan politik Soeharto akan bangkitnya trah Soekarno dalam panggung politik Indonesia.
"Para korban hingga kini tidak memperoleh hak atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan," ujarnya.
Ia melanjutkan, Megawati Soekarnoputri yang pernah menjabat sebagai Presiden pun hanya menggelar pengadilan koneksitas atas peristiwa yang dikenal dengan kerusuhan dua puluh tujuh Juli (Kudatuli).
Tetapi, kata Hendardi, sebagai sebuah kejahatan serius, peristiwa tersebut tetap harus dituntaskan sehingga memberikan keadilan, memaparkan kebenaran, dan memberikan pembelajaran berharga bagi bangsa Indonesia.
"Membiarkan kasus ini tetap tidak tersentuh, sama saja kita menghapus bagian sejarah bahwa militer Indonesia memiliki sejarah buruk karena berpolitik praktis membela penguasa," katanya.
PDIP sebagai elemen terdampak langsung atas peristiwa ini harus memprakarsai upaya penuntasan kasus ini. Demikian juga Jokowi, Presiden yang diusung PDIP memiliki kewajiban moral dan kewajiban hukum menuntaskannya.
"Di atas segalanya, bahwa pelanggaran HAM menuntut adanya remedy (upaya penyembuhan dan perbaikan) bagi korban. Dan pemerintah belum melakukan apa-apa," ujarnya.