REPUBLIKA.CO.ID,PEKALONGAN— Peran dan kiprah Indonesia sangat dinanti untuk mengambil inisiatif lebih intens mendorong terciptanya rekonsiliasi umat Islam.
Direktur dan Pembina Pusat Kajian Syariat Yordania, Syekh ‘Aun Mui’n al-Qaddumi, mengatakan Indonesia mempunyai modal dan potensi strategis sebagai kiblat dan rule model kecintaan dan loyalitas terhadap negara.
Hal terpenting yang dia garisbawahi yaitu, pentingnya bersama-sama memperkuat jaringan ulama moderat yang berpegang pada prinsip-prinsip ahlus sunnah wal jama’ah (Aswaja).
Terutama bagaimana memberikan solusi-solusi fatwa yang dilandasi atas ajaran Islam yang luhur. “Tentu kami mengharap kontribusi aktif bangsa Indonesia,” katanya dalam Konferensi Internasional Bela Negara II Ulama Tarekat di Pekalongan, Rabu (28/7).
Dia menyebutkan, Indonesia dengan mayoritas populasi menduduknya Muslim, dipandang oleh dunia sebagai kekuatan baru di tengah-tengah krisis yang tengah melanda Timur Tengah.
Selain itu, karakter dan corak beragama di Indonesia lebih didominasi dengan Islam yang moderat. Indonesia mampu mendialogkan Islam dengan budaya lokal, seperti metode yang pernah disampaikan oleh Wali Songo.
Dia berharap agar, penguatan jaringan ulama tersebut bisa diwujudkan segara. Konferensi kali ini, adalah satu dari sekian momentum agar inisiasi tersebut bisa datang dari Indonesia.”Pertemuan ini semoga bisa merumuskan konsep dan pola koordinasi antar ulama Aswaja,” paparnya.
Konferensi dengan tema “Bela Negara; Konsep dan Urgensinya dalam Islam itu” terselenggara berkat kerjasama Jam’iyyah Ahl Thariqah an-Nahdliyah (Jatman) dan Kementerian Pertahanan dan dijadwalkan berakhir besok, Jumat (29/7).
Pertemuan ini merupakan lanjutan dari Konferensi I Bela Negara Ulama Tarekat pada 2016, tercetus sembilan konsensus bela negara di antaranya penolakan terhadap terorisme, radikalisme, dan ekstrimisme yang mengatasnamakan agama.