REPUBLIKA.CO.ID, PEKALONGAN— Mufti Damaskus Suriah, Syekh Muhammad Adnan al-Afyuni, aksi-aksi kekerasan hanya akan menzalimi Islam.
Dia mengandaikan, jika musuh telah menzalimi Islam sekali, maka sejatinya, umat Islam sendiri telah mengoyak Islam 100 kali akibat pemahaman yang salah terhadap jihad.
Ia mengingatkan agar ulama benar-benar memperhatikan dampak dari fatwa dan ijtihad yang dikeluarkan.
Fenomena jamak yang terjadi di dunia Islam saat ini, ungkap dia, adalah munculnya fatwa yang melegitimasi aksi-aksi kerusuhan dan kekerasan di suatu negara.
Fatwa menghalalkan darah sesama Muslim Suriah contohnya, papar dia, tak terkecuali turut mengafirkan rezim yang berkuasa saat ini, bertebaran di berbagai media.
“Saya tak ragu fatwa semacam ini jelas-jelas keliru,” katanya dalam Konferensi Internasional Bela Negara II Ulama Tarekat di Pekalongan, Kamis (29/7)
Pemerintah dianggap bukan lagi pihak yang otoritatif. Dia memberikan contoh kasus yang terjadi di Suriah. “Padahal pemerintah adalah ulil amri yang sah,” katanya.
Bayangkan, bila tak ada otoritas resmi, maka instabilitas dan kekacuan akan tumbuh subur, seperti yang terjadi di sejumlah negara Timur Tengah. Dia menekankan bahwa mestinya, tanggung jawab bela negara itu ada di pundak tiap elemen negara, baik sipil atau pemerintah.
Menurut al-Afyuni, menegaskan agar antarmazhab dan kelompok di internal umat tak saling klaim. Tak ada yang bisa disebut sebagai representasi Islam saat ini, kecuali Alquran, hadis, dan sirah Rasulullah SAW.
Konferensi dengan tema “Bela Negara; Konsep dan Urgensinya dalam Islam itu” terselenggara berkat kerjasama Jam’iyyah Ahl Thariqah an-Nahdliyah (Jatman) dan Kementerian Pertahanan dan dijadwalkan berakhir besok, Jumat (29/7).
Pertemuan ini merupakan lanjutan dari Konferensi I Bela Negara Ulama Tarekat pada 2016, tercetus sembilan konsensus bela negara di antaranya penolakan terhadap terorisme, radikalisme, dan ekstrimisme yang mengatasnamakan agama.