REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Badan Sosial Lintas Agama (Basolia) wilayah Bogor, Jawa Barat, menyayangkan insiden pembakaran vihara yang terjadi dalam kericuhan di Tanjung Balai, Sumatra Utara.
"Masalah pembakaran vihara di Tanjung Balai sangat disesalkan, seharusnya itu tidak perlu terjadi apapun alasannya," kata Sekretaris Jenderal Basolia Bogor Arifin Himawan di Bogor, Sabtu (30/7).
Arifin mengatakan, vihara merupakan rumah ibadah, tempat umat Buddha beribadah sama seperti masjid dan juga gereja. "Jika ada orang ataupun seseorang yang dianggap kurang toleran ataupun kurang diterima sebaiknya diselesaikan dengan bijaksana bukan dengan pembakaran," katanya.
Menurut Arifin, pihaknya tidak mengetahui jelas sebab masalah yang terjadi di Tanjung Balai. Dan tidak seharusnya terjadi pembakaran.
"Kami masyarakat Tionghoa di Bogor sangat menyayangkan, terlepas rumah ibadah agama apapun kalau dibakar dan tentunya merugikan umat itu sendiri," kata salah satu tokoh masyarakat Tionghoa Bogor.
Pascainsiden di Tanjung Balai, lanjutnya, reaksi masyarakat Tionghoa di Bogor tidak terprovokasi, tetap tenang dan kondusif. "Kami di Bogor tetap rukun, kondusif dan tidak perlu ikut gejolak seperti yang sudah terjadi, mari kita saling menghormati dan menghargai perbedaan agama dan keyakinan masing-masing," kata Arifin.
Secara internal, lanjut dia lagi, Basolia Bogor menjadikan insiden Tanjung Balai sebagai hal yang perlu disikapi secara bijak. "Ada bahasan internal Basolia antaragama. Kita sampaikan keprihatinan atas musibah ini dari agama lainnya ikut prihatin. Pihak yang menjadi korban khususnya vihara yang dibakar, semoga tidak meluas ke daerah dan serta segera diselesaikan, kembali kondusif," katanya.
Arifin menambahkan, atas insiden Tanjung Balai, Basolia Bogor berharap permasalahan segera selesai dengan saling memahami, menghormati dan memaafkan.
Sebelumnya, terjadi kerusuhan berbau sara di Kota Tanjung Balai yang diduga karena adanya keberatan dari seorang etnis Tionghoa atas volume azan yang dikumandangkan di salah satu masjid. Tanpa diduga, informasi itu cepat menyebar dan berujung pada kerusuhan yang berbau sara. Perisitiwa itu menyebabkan sembilan rumah ibadah milik umat Buddha rusak.