REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Presidium Indonesian Police Watch Neta S Pane meminta agar Polri segera mengantisipasi dan mengendalikan kerusuhan berbau SARA yang terjadi di Tanjung Balai, Asahan, Sumatra Utara, pada Jumat (29/7) malam. Jika tidak, dikhawatirkan kerusuhan ini akan meluas.
"Mengingat kawasan pantai timur Sumatera Utara itu sangat rentan dengan amuk massa dan konflik SARA," kata Neta di Jakarta, Sabtu (30/7).
Menurut Neta, kerusuhan ini dengan cepat meluas karena Polres Tanjung Balai kurang tanggap dengan situasi psikologis masyarakat setempat. Akibatnya, amuk massa tidak terbendung dan bahkan sempat membakar sejumlah bangunan, sepeda motor dan mobil.
Belajar dari kasus amuk SARA di Tanjung Balai tersebut, sudah saatnya Mabes Polri dalam menunjuk kapolda dan kapolres harus memilih figur-figur yang peduli dengan kondisi psikologis massa. "Sehingga mereka mampu membuat pemetaan tentang psikologis masyarakat dan memetakan daerah rawan kriminal maupun rawan konflik SARA," ucap Neta.
Sebelumnya, kerusuhan yang dipicu persoalan suku, agama, ras, dan antargolongan terjadi di kota Tanjung Balai, Sumut, Jumat (29/7) pukul 23.30 WIB. Akibat kejadian itu, sejumlah vihara dan klenteng serta sejumlah kendaraan rusak akibat amukan massa.
Menurut polisi, kerusuhan tersebut dipicu adanya keberatan dari seorang warga etnis Tionghoa atas volume adzan yang dikumandangan di salah satu masjid di Jalan Karya, Tanjung Balai. Nada bicara perempuan berinisial M tersebut saat menegur dinilai kasar dan menyinggung jamaah di dalam masjid.
Informasi itu pun cepat menyebar dan memancing emosi warga. Kericuhan berbau SARA tak terhindarkan. Sejumlah tempat beribadah umat Buddha pun dibakar massa yang emosi. "Terdapat tujuh orang yang diamankan karena melakukan penjarahan pada saat terjadinya aksi anarkis. Sementara pemicu aksi massa, M dan keluarganya masih diamankan di Polres. Tidak ada korban luka," kata Kabid Humas Polda Sumut Kombes Rina Sari Ginting.