REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik LIPI Siti Zuhro mengatakan umat Islam harus secara cermat mewaspadai munculnya situasi sosial usia pecahnya konflik bernuansa SARA di Tanjung Balai, Sumatra Utara. Mereka harus segera memahami konteks dan teks mengapa peristiwa itu terjadi.
‘’Sepengetahuan saya di dalam sejarah Indonesia, konflik SARA seperti itu tidak ada yang muncul atau dipicu karena ada seseorang memarah-marahi praktik ibadah penganut agama lain. Bagi saya apa yang terjadi di Tanjung Balai sangat mengagetkan. Dalam peristiwa masjid dibakar misalnya, juga tak ada tindakan pendahuluan di mana ada orang yang datang ke masjid sembari marah-marah karena merasa terganggu. Nah, saya kaget dengan peristiwa di Tanjung Balai ini,’’ kata Siti Zuhro, Ahad (30/8).
Dengan demikian lanjut SIti, umat dan tokoh Islam harus mulai menyadari bahwa ada yang salah dalam pengejawantahan toleransi di Indonesia. Dalam banyak sisi memang terlihat sudah kebablasan di mana toleransi cenderung diberlakukan atau dibebankan secara sepihak di mana terkesan hal biasa bila Islam disudutkan, sementara bila ada tindakan intoleran dari Islam cenderung dibesar-besarkan.
‘’Tindakan intoleransi memang tak boleh dilakukan. Tapi sikapilah secara proporsional. Bila terjadi konflik maka sikapilah secara utuh, baik itu teks atau konteksnya. Dan yang memang selama ini dipahami bila muncul konflik hanya sekedar konteksnya saja, sedangkan teksnya dilupakan. Saya harap toleransi dipahami dan dilaksanakan secara fair dan proper,’’ tegas Siti.
Selain perlu pidahami secara utuh, konflik bernuansa SARA di Tanjung Balai terasa mengkhawatirkan karena terjadi menjelang pelaksanaan pilkada serentak. Situasi ini makin membuat galau karena selama ini pemahaman tolrenasi kerapkai dipakai hanya sebatas memenuhi hasrat kepentingan politik.
Dan situasi ini semakin berbahaya karena sepanjang tahun Indonesia bisa disebut selalu menjalaninya sebagai ‘tahun politik’ karena di banyak wilayah selalu saja terjadi ajang pemilihan kepada daerah.
‘’Soal toleransi juga jangan dipakai sebagai sarana untuk mendorong praktik kehidupan individualisme ala barat itu. Kalau ini dilakukan diastikan hanya membuat konflik sosial baru,’’ ujarnya.
Apalagi, lanjut Siti Zuhro, secara nyata di negara barat yang menyebut dirinya demokrasi itu, seperti Australia misalnya, di sana ternyata sampai kini tetap terjadi praktik intoleransi juga. Hal ini misalnya adanya perlakuan khusus kepada orang kulit putih.
‘’Bahkan di dalam orang kuit putih juga masih ada perlakukan khusus,misalnya kepada keturunan Inggris. Saya tahu ini karena delapan tahun saya tinggal di negara itu,’’ tegas Siti Zuhro.