Oleh Amir Faishol Fath
REPUBLIKA.CO.ID, Al Rabi' bin Khutsaim tidak pernah bertemu Rasulullah SAW. Namun, akhlaknya mencerminkan pribadi yang sangat mulia. Ibn Mas'ud, salah seorang sahabat Rasulullah SAW, sangat terkesan ketika menyaksikan kebersihan pribadi al Rabi', keikhlasannya, dan ketenangannya saat menjalankan ibadah kepada Allah.
Dalam benaknya Ibn Masud sangat menyayangkan, karena al Rabi' tidak sempat bertemu dengan Rasulullah SAW, dan menjadi sahabatnya. Ibn Masud hanya bisa berkata: ''Wahai Abu Yazid (baca: Al Rabi'), seandainya Rasulullah SAW melihatmu, niscaya ia akan mencitaimu.'' Dalam waktu lain Ibn Masud berkata kepada al Rabi': ''Setiap kali saya melihatmu, selalu tergambar di benak saya pribadi orang-orang yang khusyuk.''
Diriwayatkan bahwa al Rabi' selalu menjaga dirinya dari kotoran dosa. Hatinya senantiasa memancarkan cahaya keimanan. Orang-orang yang melihatnya selalu terbawa khusyuk dan penuh dzikir kepada Allah. Berkata seorang yang selalu menemaninya: ''Saya bersama al Rabi' bin Khutsaim selama dua puluh tahun, sungguh belum pernah mengucapkan kalimat kecuali kalimat itu mengingatkan kepada Allah.''
Suatu saat Abd Rahman bin Ajlan pernah menceritakan kesan pertemuannya. ''Saya pernah bermalam dengan al Rabi', dan ketika ia yakin bahwa saya telah tidur, secara diam-diam ia bangun, melaksanakan salat tahajud. Dalam shalatnya ia berulang-ulang membaca ayat --yang artinya: ''Patutkah orang-orang yang melakukan kejahatan menyangka bahawa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dengan menyamakan keadaan (mereka semua) semasa mereka hidup dan semasa mereka mati? Amat buruklah apa yang mereka sangkakan itu.'' (QS 45: 21). Hal ini ia lakukan sepanjang malam, sampai terbit fajar, dan kedua matanya basah kuyup air mata.
Hilal bin Isaf pernah menceritakan bagaimana al Rabi' benar-benar menjaga lisannya dari pembicaraan kotor, atau hal-hal yang tidak ada gunanya: ''Bila kau duduk di samping al Rabi' sepanjang tahun, ia tidak akan berbicara denganmu sampai kau bertanya kepadanya, dan ia tidak akan memulai berbicara kalau kau tidak memulainya, karena ia telah menjadikan dzikir kepada Allah sebagai pembicaraannya, dan menjadikan diamnya untuk berpikir.''
Al Rabi' benar-benar menyadari makna kehambaannya kepada Allah, bahwa ia diberi jatah hidup bukan untuk main-main, melainkan untuk mempersiapkan diri sebagai bekal di akhirat. Karena akhirat adalah kehidupan yang sebenarnya (perhatikan QS 29: 64). Dalam sebuah perjalanan di tepi Sungai Furat, al Rabi' pernah berhenti cukup lama di depan tungku pembakaran batu. Al Rabi' terpaku sunyi melihat lidah api yang demikian tajam menjilat-jilat udara. Semakin dimasukkan ke dalamnya tumpukan batu, api itu kian membara.
Al Rabi' tampak gemetar --bahkan diriwayatkan sampai jatuh pingsan-- terbayang api neraka yang digambarkan Allah: ''Apabila neraka itu melihat mereka dari tempat yang jauh, kedengaranlah suara marahnya dan nyalanya yang menggelegak. Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di dalam neraka itu, dengan keadaan dibelenggu, menjeritlah mereka dan meminta agar dibinasakan.'' (QS 25: 12-13).