REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan mengatakan tiga bank Indonesia yang masuk dalam kategori Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) IV telah menyatakan minatnya untuk ekspansi bisnis ke Malaysia.
"Dari empat BUKU IV hanya Bank Central Asia (BCA) yang tidak berminat," kata Deputi Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) RI, Mulya Siregar di Jakarta, Senin (1/8).
Saat ini, hanya ada empat bank di Indonesia yang masuk dalam BUKU IV atau bank dengan modal inti di atas Rp30 triliun. Selain BCA, tiga bank lainnya adalah perbankan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yakni PT Bank Mandiri Persero Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Persero Tbk, dan PT Bank Negara Indonesia Persero Tbk. "Hanya BCA yang tidak, yang lainnya berminat," ujarnya.
Namun, kata Mulya, hingga saat ini belum ada dari tiga bank tersebut yang mendaftar ke OJK untuk mendirikan perusahaan keuangan di Malaysia. Tiga perbankan tersebut dapat melakukan ekspansi dan mendapat kemudahan dari Malaysia, karena merupakan "Qualified ASEAN Bank" (QAB).
QAB merupakan kriteria yang diberikan masing-masing negara kepada perbankan yang ingin berekspansi lintas negara sesuai Kerangka Integrasi Perbankan ASEAN (ASEAN Banking Integration Framewiork/ABIF) yang rencananya akan disepakati antara Indonesia dan Malaysia hari ini. Mulya menerangkan kriteria penetapan QAB adalah bank yang memiliki permodalan kuat, bank yang menerapkan tata kelola perusahaan (Good Corporate Governance/GCG) dengan baik, dan bank yang asetnya dikuasai peserta domestik.
Namun, Mulya belum bisa memastikan kapan Mandiri, BNI dan BRI akan merealisasikan investasinya di Malaysia. Hal itu sangat tergantung kesiapan dari masing-masing bank karena tiga bank tersebut tidak hanya akan mendirikan kantor cabang, namun juga perusahaan (subsidary) di Malaysia.
Jika kerja sama bilateral antara Malaysia dan Indonesia telah disepakati, nantinya tiga perbankan tersebut juga akan dibebankan biaya yang lebih murah untuk ekspansi. Namun, syarat modal yang dibebankan tetap sebesar 300 juta ringgit Malaysia. "Sedangkan tarif administrasi (admission fee) untuk perbankan Indonesia nantinya akan turun dari 10,4 juta ringgit menjadi 5,2 juta ringgit," kata dia.
Kemudian, biaya dalam sistem pembayaran seperti untuk Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yang dipungut, turun dari 4 ringgit per transaksi menjadi 1-2 ringgit per transaksi. Namun, untuk iuran tahunan, biaya yang dibebankan akan lebih mahal dibanding bank domestik Malaysia, yakni144 ribu ringgit berbanding 42 ribu ringgit. "Hal itu harus dimaklumi karena perbankan Indonesia nantinya tinggal menikmati infrastruktur perbankan yang sudah dibangun Malaysia," katanya.
Proses negoisasi untuk kesepakatan kerja sama Indonesia dan Malaysia dalam kerangka ABIF ini membutuhkan waktu enam tahun sejak 2011. Padahal, sejak lama, dua raksasa perbankan Malaysia, yakni Maybank dan CIMB Niaga sudah mengekspansi pasar Indonesia, yang menjadi pasar terbesar di ASEAN.
Sementara perbankan Indonesia kerap dipersulit dan dikenakan biaya yang mahal jika ingin melebarkan bisnisnya ke Malaysia. "Ketentuan Malaysia sangat membedakan mana yang bank asing dan mana yang domestik. Oleh karena itu, kita upayakan ABIF agar terjadi resiprokal," ujarnya.