REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Anggota Komisi I DPR Charles Honoris menyarankan pemerintah segera melakukan ratifikasi atas konvensi internasional penyanderaan (The International Convention Againts the Taking of Hostages). Ratifikasi tersebut akan membuat pemerintah RI melakukan upaya maksimal selain membayar uang tebusan.
"Kami pikir, kebutuhan Indonesia akan ratifikasi konvensi internasional penyanderaan tersebut mendesak,”jelas Charles di Jakarta, Senin (1/8).
Berdasarkan data dari International European Beaureu menyatakan ada 150 kasus perompakan yang terjadi di wilayah perairan Indonesia dalam satu tahun terakhir. Karena itu, wilayah perairan Indonesia pun tergolong rawan kejahatan pembajakan dan penculikan.
Berdasarkan data itu, lanjut dia, tidak semua kejahatan perompakan disertai dengan penculikan. Namun, jumlah kejadian penculikan setelah perompakan cukup banyak terjadi. Menurut Charles, ratifikasi konvensi penting mengingat proses pembebasan lahan yang cukup sulit dilakukan. Selama ini, masih ada kecenderungan membayarkan tebusan untuk membebaskan sandera.
"Padahal, salah satu pendorong terulangnya peristiwa penyanderaan adalah saat membayar sejumlah uang tebusan. Hal itu terindikasi dari tidak adanya kejadian penyanderaan sebelum tahun ini," tutur dia.
Charles menjelaskan, ratifikasi konvensi internasional penyanderaan yang disusun pada 1979 itu memiliki dua poin penting. Pertama, soal tidak diperbolehkannya membayar uang tebusan. Kedua, pemeritah setempat harus melakukan segala upaya di luar pembayaran tebusan dalam membebaskan sandera.
Pemerintah, tutur Charles, sebetulnya pernah membahas ratifikasi konvensi internasional penyanderaan. Namun, hingga saat ini aturan itu belum dimasukkan dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas prioritas).
"Baru-baru ini kami telah menyampaikan kepada Kemenlu untuk masukkan dalam prolegnas prioritas. Setelah itu kami pun akan sarankan kepada DPR," tambah dia.