REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Perdana Menteri Irak Haider Al Abadi pada Senin (1/8) memerintahkan sebuah penyelidikan terhadap tuduhan korupsi dalam kesepakatan senjata yang beresiko memicu kembali krisis politik sebelum pergerakan militer yang direncanakan untuk merebut Mosul dari tangan ISIS.
Perlawanan atas langkah-langkah antikorupsi, yang menghentikan kegiatan pemerintahan untuk beberapa bulan dan memicu bentrokan antara demonstran dengan pasukan keamanan di Baghdad pada awal tahun ini, mengancam akan menghambat momentum untuk merebut kembali Mosul dan menggunakan kesempatan dari perolehan tempur itu untuk melawan para militan garis keras.
Juru Bicara Parlemen Irak Salim Al Jabouri menyangkal tuduhan korupsi yang diutarakan dalam sebuah pertemuan tertutup parlemen oleh Menteri Pertahanan Khaled Al Obeidi yang disiarkan pada Senin malam di stasiun televisi nasional.
Obeidi mengatakan dalam pertemuan itu Jabouri beserta anggota parlemen lainnya yang dia kenali telah bersekongkol dalam beberapa kesempatan atas nama sejumlah perusahaan atau pebisnis yang mencari kontrak untuk menjual beberapa pesawat, kendaraan segala medan Hummer, mobil-mobil rakyat atau bahan pangan kepada para tentara, atau untuk menunjuk tentara, aparat dan personel dalam kementerian.
Abadi mengatakan dalam sebuah pernyataan dia telah mengarahkan Komisi Integritas, sebuah badan pemerintah yang ditugaskan untuk melawan korupsi, memeriksa tuduhan terkait. Obeidi telah dipanggil ke hadapan parlemen untuk menanggapi tuduhan korupsi dalam Kementerian Pertahanan, yang dituduh menghamburkan dana umum senilai miliaran dolar dan melemahkan angkatan bersenjata hingga dimana mereka runtuh pada 2014 lalu dalam menghadapi ancaman dari ISIS.
"Apa yang terjadi hari ini merupakan sebuah sandiwara agar pemeriksaan tidak dilakukan," kata Jabouri dalam sebuah konferensi pers setelah pertemuan. Dia juga akan menahan diri untuk tidak memimpin parlemn hingga dia dapat membersihkan namanya kembali.
Kelompok bersenjata ISIS menguasai sepertiga wilayah Irak pada dua tahun lalu, namun sejak saat itu telah disingkirkan oleh sebagian besar warga wilayah itu oleh para milisi Muslim Syiah dan pihak militer sedikit demi sedikit dibangun kembali dengan bantuan koalisi pimpinan Amerika Serikat.