REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Komite Advokasi perhimpunan bantuan hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Irfan Fahmi mengatakan supaya Polda Riau membuka kasus kebakaran hutan dan lahan (Kahutla) secara terang benderang. Terutama perihal penyelidikan kepolisian Riau sebelum akhirnya menerbitkan surat penghentian proses penyelidikan (SP3).
Menurut Irfan ada yang perlu dikritisi perihal penerbitan SP3 untuk kasus kahutlah tersebut. Pasalnya kebakaran di tahun 2015 itu Presiden Joko Widodo saja menyambangi Riau namun anehnya kasus ini justru berakhir dengan penghentian proses penyelidikan.
"Ini yang ingin kami kritisi, Jokowi sampai hadir di sana tapi ujung-ujungnya di SP3 dan tidak ada pemidanaan terhadap 15 korporasi itu,"ujar Irfan di Kantor Kompolnas, Jakarta Selatan, Selasa (2/8).
Irfan mengaku khawatir apabila kebakaran hutan di Riau akan tetap hidup pada tahun-tahun berikutnya. Alasannya karena pihak perusahaan sudah ikut berupaya melakukan pemadaman dan bahwa lahan yang terbakar merupakan tanah sengketa sehingga diputuskan SP3 begitu saja.
Ditambah lagi kata dia perihal polisi yang memidanakan petani jagung dengan vonis dua tahun penjara, sedangkan mengeluarkan SP3 untuk 15 perusahaan. Ini kata dia justru membuat penegakan hukum di Riau mencurigakan.
"Penegakan hukum di Riau tidak memberikan kontribusi apa-apa. Kenapa? Karena penegakan hukum dengan menerbitkan SP3 sama aja memberikan suatu saran, bahwa selama itu tanah sengketa, oh silahkan bakar karena tidak akan diberikan pidana kepada anda," ujar Irfan.
Oleh karena itu sambungnya, apabila tidak ingin kasus Kahutla ini berlanjut dan tidak ingin masyarkat Riau kehilangan kepercayaannya kepada pihak kepolisian, Irfan menyarankan supaya penyidik Polda Riau membuka seterang-terangnya proses penyelidikan itu.
Misalnya kata dia dibandingkan dengan kasus kopi maut yang menyebabkan Wayan Mirna Salihin tewas, kasus kahutlah dinilai sangat amat tertutup dengan tiba-tiba kasus di SP3 kan. Irfan memaparkan bagaimana kasus kopi maut dibuat terang benderang oleh penyidik. Bagaimana penyidik mengurutkan rangkaian kronologi peristiwanya.
Bahwa tersangka Jessica Kumala (27 tahun) datang ke kafe Olivier, kemudian bagaimana kopi tersebut dihidangkan di meja, kemudian bagaimana kopi tersebut diminum korban. Hingga rangkaian kronologis itu jelas sampai akhir menggambarkan tewasnya Wayan Mirna (27).
"Dalam kasus SP3 kahutlah, ayo dong penegak hukum juga share ke kita. Bagaimana ceritanya, kronologinya sehingga penegak hukum mengambil kesimpulan tidak ada unsur pidana di situ," ungkapnya.