REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Restorasi film lawas Indonesia Tiga Dara ternyata melalui proses yang tidak mudah. Rumah produksi SA Films bersama sejumlah pihak menempuh tahapan restorasi yang cukup panjang dan rumit. Dari proses rumit tersebut diharapkan banyak anak muda yang tertarik mempelajari restorasi.
"Total waktu pengerjaan restorasi, termasuk persiapan dan penyelesaian akhir, kurang lebih 17 bulan," ujar Yoki P Soufyan, perwakilan SA Films.
Ia mengatakan, inisiatif awal penyelamatan film Tiga Dara sesungguhnya dilakukan oleh pemerintah Belanda pada tahun 2011. Namun, gagasan yang dieksekusi EYE Museum di Amsterdam itu tertunda karena krisis ekonomi yang melanda Eropa pada saat itu.
Karena ketidakpastian waktu dan kekhawatiran kondisi fisik film semakin buruk, kata Yoki, SA Films berikhtiar mengambil alih proses tersebut. Setelah sejumlah pembicaraan, materi asli seluloid film Tiga Dara di Amsterdam dikirimkan kembali ke Indonesia.
Yoki memerinci, SA Films menggandeng Laboratorium L'Immagine Ritrovata di Bologna, Italia, untuk proses restorasi fisik. Dua pakar restorasi film Indonesia yakni Lintang Gitomartyo dan Windra Benyamin terlibat langsung dalam delapan bulan prosesnya.
Tim bekerja keras memulihkan kondisi fisik reel film Tiga Dara yang tidak dalam kondisi baik. Banyak bagian yang robek, tergores, hingga mengalami kerusakan kimiawi yang disebut/vinegar syndrome.
Setelahnya, dilanjutkan tahap restorasi digital selama kurang lebih enam bulan menjadi format 4K yang merupakan resolusi tertinggi yang secara teknis dapat dilakukan di Indonesia. Taufiq Marhaban dari PT Render Digital Indonesia memberi gambaran bahwa film yang berdurasi hampir dua jam itu berukuran sekitar 12 terabyte dan memiliki hampir 150 ribu frame yang masing-masing dibersihkan secara digital.
"Dari seluruh proses ini, kami sekaligus ingin mengajak anak muda agar tertarik mempelajari restorasi film guna menyelamatkan ratusan hingga ribuan film klasik Indonesia," tutur Taufiq.