Kamis 04 Aug 2016 20:17 WIB

Cikal Bakal Masjid Tiban Malang

Rep: Christiyaningsih / Red: Agung Sasongko
Masjid Tiban Malang
Foto: Pegipegi.com
Masjid Tiban Malang

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jika berkunjung ke Kabupaten Malang, Jawa Timur, jangan kaget jika mendengar cerita adanya 'masjid tiban' atau masjid yang muncul tiba-tiba. Konon masjid itu dibangun dalam semalam, bahkan ada yang menyebutnya 'masjid jin'.

Bangunan megah sepuluh lantai itu memang terlihat mencolok di tengah permukiman penduduk di Jalan Wakhid Hasyim Gang Anggur Nomor 10 Desa Sananrejo, Kecamatan Turen. Namun, masyarakat sekitar dulu tidak menyadari adanya proyek pembangu nan di sana. Itulah yang ke mu dian memunculkan istilah 'masjid tiban'.

Masjid yang sekaligus Pondok Pesantren (Ponpes) Bihaaru Bah ri 'Asali Fadlaailir Rahmah (Bi Ba'a Fadlrah) ini kini ramai di kun jungi masyarakat dari berbagai daerah di Jawa Timur. Selain karena cerita sejarah pembangunannya, pengunjung juga penasaran melihat langsung bangunan masjid yang unik itu. Salah satunya Wawan Hermawan, yang mengaku datang lantaran penasaran dengan cerita yang berkembang.

"Semakin penasaran dan setelah da tang sendiri, baru percaya masjid dibangun manusia karena me lihat orang-orang bekerja," ujar dia.

Iphoenk HD Purwanto, santri yang biasa menjadi pemandu di masjid, memang menyanggah cerita yang selama ini beredar. Menurut dia, pembangunan masjid itu memang tidak melibatkan masyarakat sekitar, apalagi juga tidak menggunakan alat-alat berat.

"Wajar kalau masyarakat tidak tahu ada pembangunan masjid di balik pagar karena semua dikerjakan oleh santri," kata pria yang akrab disapa Gus Ipung ini.

Cikal bakal masjid tiban ini berawal dari mushala yang sering dipakai warga setempat. Pemilik mushala itu, Romo KH Rahmat Bahru Mafdo lud din Sho leh dan istrinya Hajjah Luluk Rifqoh Al Mahbubah, berniat menja di kan langgar itu sebagai pusat ibadah dan pembelajaran. Menurut Gus Ipung, rintisan ponpes sudah dimulai sejak 1963.

Perencanaan pembangunannya tidak sembarangan. Pencetus pon pes yang akrab dipanggil Romo Kyai dan Bu Nyai itu memba ngun selepas sha lat Istikharah. Tak ada campur tangan arsitek da lam prosesnya. Seluruh tahapan pembangunan, mulai pema sa ngan batu bata, pengadukan semen, hingga pembuatan ornamen, dilakukan secara manual oleh para santri. Ada lebih dari 500 desain ornamen di sana. Meskipun hanya diba ngun para santri, kompleks ponpes seluas 6,5 hektare itu menyuguhkan tampilan arsitektur yang menarik.

"Orang menyebutnya mirip campuran arsitektur Timur Tengah, Thailand, dan Jawa," ujar Gus Ipung.

Kini ponpes yang mempunyai nama dengan arti "lautan madu dan memiliki keutamaan kasih sayang" itu bisa menampung 350 santri beserta keluarganya. Di ponpes ini pun dilengkapi pusat perbelanjaan, bahkan ada kebun binatangnya. Pusat perbelanjaan terletak di lantai tujuh. Di sana tersedia berbagai barang kebu tu han, seperti pakaian, makanan ringan, maupun alat memasak. Sementara kebun binatang ada di lantai tiga dan sembilan. Ada bera gam binatang di sana, antara lain monyet, rusa, burung kakatua, landak, dan ayam.

Menurut Gus Ipung, ini juga menjadi simbol di mana manusia, hewan, dan tumbuhan hidup berdampingan dengan harmonis di ponpes ini. Harmoni ini sebagai perwujudan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. "Nyaris tidak ada kegiatan penebangan pohon di sini, yang ada hanya memindah pohon jika keberadaannya dirasa mengganggu," ujar dia

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement