Jumat 05 Aug 2016 16:34 WIB

Apa Pun Hasil Referendum, Pemilu Thailand Tetap 2017

Thailand's Prime Minister Prayuth Chan-ocha inspects the honour guard before a meeting at the Prime Minister's office in Phnom Penh October 30, 2014.
Foto: Reuters/Samrang Pring
Thailand's Prime Minister Prayuth Chan-ocha inspects the honour guard before a meeting at the Prime Minister's office in Phnom Penh October 30, 2014.

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Pemilihan umum di Thailand tetap berlangsung pada 2017, terlepas dari hasil referendum terkait undang-undang dasar baru pada Ahad yang akan menentukan masa depan negara itu, kata pemimpin penguasa, Jumat (5/8).

Rakyat Thailand akan memilih menerima atau menolak perubahan undang-undang dasar usulan militer dalam waktu dekat atau dua tahun sejak tentara mengambil alih kekuasaan lewat kudeta pada Mei 2014. Oposisi, termasuk partai politik utama Thailand, menjelaskan undang-undang dasar itu dapat melemahkan peran pemerintah serta menguatkan kedudukan militer dalam beberapa tahun ke depan.

Jika rancangan itu itu disetujui, penguasa dapat mengklaim keabsahan atas pemerintahan serta merencanakan pemilihan umum. Namun, pilihan "tidak" dapat menunda rencana militer selagi penguasa menyiapkan usulan rancangan baru.

Pemimpin penguasa, Prayuth, mendorong rakyat Thailand berperan dalam referendum itu, dengan menekankan pemilu akan tetap berlangsung pada 2017. Ia mengatakan itu di hadapan wartawan di pangkalan militer Provinsi Nakhon Nayok, sekitar 115 kilometer di bagian timur laut Bangkok.

"Dalam waktu dua hari lagi, masa depan negara ini akan diputuskan. Kita harus menggelar pemilu 2017 sesuai janji yang dibuat," kata Prayuth.

Pengamat menilai, referendum akan jadi ujian utama bagi popularitas junta. Oposisi penentang menilai, rancangan UUD itu hanya bentuk lain dari kudeta yang justru makin memperkuat posisi militer.

Penguasa berikut komite penyusun UU usulan militer mengatakan, draf itu tak bertujuan melanggengkan kuasa militer. Rancangan itu, yang nantinya jadi UUD ke-20 sejak militer menghapus kekuasaan absolut kerajaan pada 1932 mengatur, parlemen pilihan junta akan memberi komandan militer tempat guna mengawasi kewenangan legislator terpilih.

Wawancara dengan pejabat senior menunjukkan kudeta militer tak lagi diperlukan jika rancangan UUD ditetapkan. Pasalnya, ketentuan itu memberi kewenangan militer mengawasi perkembangan ekonomi dan politik negara tersebut.

Thailand mengalami 19 kudeta sejak 1932. Sebanyak 12 kudeta berhasil, dan militer telah menunjuk 12 dari 29 perdana menteri negara itu.

Prayuth menjelaskan ia akan berpartisipasi dalam referendum. "Tak ada aturan yang akan membuat seluruh rakyat bahagia," kata Prayuth.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement