Oleh: Fitriyan Zamzami, Jurnalis Republika
Alkisah, sewaktu pengikut Muhammad ibn Abdullah mulai sukar dihitung jari-jari di Makkah, mereka dapat persoalan baru: bagaimana mengumpulkan orang-orang untuk beribadah secara berjamaah? Dari itu, merapatlah Rasulullah dan para sahabat.
Ada yang mengusulkan dengan sinyal api atau asap yang bisa dilihat dari kejauhan. Ada yang mengusulkan mengibarkan bendera. Pilihan yang juga mengemuka adalah mengunakan lonceng seperti pengikut Isa al-Masih atau dengan terompet tanduk binatang seperti bangsa Yahudi.
Kita paham bahwa Nabi adalah manusia yang hormat betul terhadap keyakinan ahlul kitab, dan barangkali enggan cawe-cawe dengan ritual mereka. Selain itu, bayangkan jika suatu saat ada Muslim yang sudah pakai baju rapi, pakai wewangian, berjalan keluar rumah, kemudian di tengah jalan baru sadar bahwa yang bunyi ternyata lonceng gereja. Kan tengsin.
Sayangnya, waktu itu belum ada gitar listrik. Jadi pilihan memainkan musik cadas menjelang shalat berjamaah juga tak masuk akal. Alat musik populer saat itu adalah gendang dan kicrik-kicrik. Kasihan kafir Quraish yang bakal pada mati ketawa kalau liat ada yang main kicrik-kicrik di atap masjid setiap menjelang shalat.
Ide yang kemudian disepakati saat itu adalah dengan menunjuk seorang Muslim untuk meneriakkan panggilan shalat.
Orang yang ditunjuk, Bilal ibn Rabah, seorang bekas budak kulit hitam. Saya bayangkan, buat orang Quraish yang rasial setengah mampus itu, ada orang kulit hitam yang berdiri lebih tinggi dari kaum mereka dan memerintahkan orang-orang datang ke masjid tentu macam ditampar berkali-kali. Tapi, alasan penunjukan Bilal juga karena suaranya paling membahana sekaligus paling merdu, meski ia tak fasih melafalkan huruf “syin”.