REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Komedian Muslim Amerika Dean Obeidallah menggunakan 15 tahun dalam hidupnya untuk melawan kebencian pada Islam. Obeidallah menggunakan senjata utamanya yakni humor. Saat ini, kampanye presiden Amerika Serikat membuat Obeidallah memiliki tugas lebih penting.
Kehidupan Obeidallah dan banyak Muslim lainnya berubah pasca September 2001 atau teror penghancuran WTC.
"Sebelum kejadian 11 September, saya dianggap seperti orang kulit putih," ujar Obeidallah seperti dikutip dari Malay Mail Online, Ahad (7/8).
Obeidallah mengaku, saat ini ia dianggap sebagai seorang minoritas. Ayah Obeidallah adalah seorang Palestina dan ibunya adalah orang Italia.
Meski menghadapi tekanan, Obeidallah tak ragu menunjukkan identitasnya sebagai seorang Muslim. Ia mengaku, ketika seseorang terpojokkan, ada dua pilihan yakni bersembunyi dalam gelap atau justru keluar dan memperjuangkan yang sebenarnya.
Ia mengakui tekanan pada Muslim AS saat ini begitu kuat. Terutama ketika terjadi suatu hal yang buruk dan Muslim terlibat di dalamnya.
Beberapa kali, kata Obeidallah, ia menerima teriakan dari orang yang menyuruhnya kembali ke negara asal. Keadaan pun semakin buruk dengan kemunculan ISIS.
Obeidallah tak mudah terintimidasi. Ia tetap berjuang lewat program radio dan penampilan di televisi untuk membuka kesadaran orang-orang.
"Saya tidak berpikir saya berjuang untuk Muslim. Saya berjuang untuk nilai-nilai Amerika. Saya berjuang pada gagasan bahwa kita semua layak diperlakukan setara," ujarnya.