REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Puput TD Putra mengatakan, warga Pulau Pari semakin resah karena tanah yang sudah ditempati lebih dari empat generasi diklaim oleh PT. Bumi Raya. Intimidasi, ancaman dan kriminalisasi dilakukan oleh pihak perusahaan ditujukan untuk menekan warga.
Putra mengatakan, ada satu warga bernama Edy yang telah dikriminalisasi terkait sengketa. Edy dituduh menempati tanah yang bukan miliknya dan kasusnya saat tengah ditingkat banding di Pengadilan Tinggi Jakarta. Selain itu, intimidasi untuk menakuti warga juga dilakukan dengan melibatkan oknum anggota TNI.
"Kehadiran oknum TNI Kodim 0502 yang bernama Muaz Zulkifli patut dipertanyakan, karena kapasitasnya tidak sesuai terkait pengukuran tanah sengketa yang berada di Pulau Pari, TNI bergerak atas dana APBN dan perintah presiden, Tugas TNI bukan mendampingi Satpol PP," kata Putra dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Senin (8/8).
Putra mengatakan, pengukuran yang dilakukan oleh PT. Bumi Raya secara sepihak tanpa didasari dengan legalitas sah dan dengan intervensi yang mereka lakukan jelas sangat membuat masyakarat Pulau Pari tidak nyaman. Selain itu, tambah Putra, disinyalir ada oknum dari pemerintahan bermain di belakangnya. Putra menuturkan, pada 4 Agustus 2016, pihak PT. Bumi Raya dan pemerintah menurunkan Satpol PP, polisi, dan TNI untuk mengawal pihak perusahaan melakukan pengukuran.
"Sungguh miris negeri ini ketika aparatur negara digunakan hanya untuk melawan rakyat yang lemah," kata Putra.
Putra menjelaskan, menurut data Forum Peduli Pulau Pari (FP3), warga telah menempati pulai itu semenjak tahun 1900-an. Para warga juga telah membangung dermaga atau pelabuhan secara swadaya. Pada tahun 1970 didirikan bangungan Lembaga Oseonografi Nasional (LON) yang sekarang bernama UPT LIPI ( Unit Pelaksana Teknis lembagaIlmu Pengetahuan Indonesia).
Pada tahun 1989, masuklah PT. Bumi Raya, perusahaan tersebut lalu membeli pohon yang ditanam oleh warga, kemudian membeli rumah warga. Namun tidak semua warga yang menjual pohon dan rumahnya. Selanjutnya, tahun 1990-1993 perusahaan tersebut membeli tanah secara diam-diam tanpa sepengetahuan RT dan RW. Pada selang tahun 2013-2016 pihak perusahaan mengajukan pembuatan sertifikat tanah berupa SHM dan SHGB tanpa sepengetahuan pihat RT dan RW.
"Warga menilai pembuatan sertifikat tersebut cacat hukum dan tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku," kata Putra.