REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama mengaku tidak mengerti tentang Koalisi Kekeluargaan yang dideklarasikan tujuh partai politik. Koalisi Kekeluargaan nantinya akan mengusung calon gubernur pada Pilgub DKI 2017 mendatang.
"Nggak ngerti aku, ya mungkin semua kekeluargaan yang bahas anggaran juga kekeluargaan, diskusi kekeluargaan, mau pejabat juga kekeluargaan. Mungkin itu maksudnya, saya nggak tahu," kata Ahok di Jakarta, Selasa (9/8).
Koalisi Kekeluargaan yang dideklarasikan di Jakarta, Senin (8/8) menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017. Terkait hal itu Ahok mengatakan tidak mengerti.
"Saya nggak tahu, mungkin nanti kekeluargaan juga. Saya nggak ngerti ideologinya beda memang mesti kekeluargaan," ucapnya.
Ketujuh parpol tersebut sepakat membentuk Koalisi Kekeluargaan untuk mengusung pasangan calon dalam Pemilihan Gubernur DKI 2017. Tujuh pengurus dewan pimpinan wilayah/dari tujuh DPW/DPD partai yakni PDIP, PKB, PAN, PKS, PPP, Gerindra, dan Demokrat, juga menyepakati kriteria calon pemimpin DKI yang akan bersama-sama diusung.
Selain itu, Plt Ketua DPD PDIP DKI Jakarta Bambang Dwi Hartono, Ketua DPW PAN DKI Jakarta Eko Hendro Purnomo dan Taufik dari Gerindra, acara deklarasi Koalisi Kekeluargaan juga dihadiri oleh Ketua DPW PKB DKI Jakarta Hasbiallah Ilyas, Ketua DPW PPP DKI Jakarta Abdul Aziz, Ketua Umum DPW PKS DKI Jakarta Syakir Purnomo, dan Ketua DPD Demokrat DKI Jakarta Nachrowi Ramli.
Salah satu calon dari Koalisi Kekeluargaan adalah Tri Rismaharini. Wali Kota Surabaya ini diyakini bisa mengalahkan Ahok pada Pilgub DKI 2017 mendatang. Namun pendapat berbeda disampaikan Direktur Konsep Indonesia, Verry Muchlis Ariefuzzaman.
Menurut dia, sejumlah indikator menyebut majunya Risma belum tentu bisa mengalahkan Ahok. Indikator pertama, kata dia, dari semua survei Risma berada di urutan ketiga. "Ini artinya Risma selalu berada di bawah Ahok dan Yusril," kata Verry dalam keterangan tertulisnya, Selasa (9/8).
Kedua, saat ini terjadi pro dan kontra mengenai ditariknya Risma ke Jakarta. Isu yang muncul adalah gagalnya parpol melakukan seleksi dan mematuhi aturan internalnya masing-masing. Sebab Risma sama sekali tidak mendaftar di parpol manapun.
Ketiga, terjadinya perpecahan di kalangan warga Surabaya. "Sebagian besar menolak Risma dibawa ke Jakarta, karena mereka memilihnya untuk mensejahterakan warga Surabaya," kata dia.
Keempat, kepemimpinan perempuan di Jakarta masih menyisakan soal. Rakyat Betawi dikenal sangat relijius dan masih banyak yang keberatan dengan dimunculkannya gubernur wanita.
Kelima, harus dipikir ulang kemaslahatan politiknya. "Apakah Risma tidak lebih baik di Surabaya, sementata di Jakarta dicari calon lain yang mampu mengalahkan Ahok?" kata Verry.