REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selain semangat berilmu, Ibnu Maktum, di tengah keterbatasan penglihatan yang ia miliki, tetap memiliki semangat jihad.
Usai Perang Badar, Allah menurunkan ayat tentang kedudukan tinggi mujahidin dan mengutamakan mereka di atas orang-orang lain. Ini memberi dorongan semangat dalam jihad.
Namun, keistimewaan tersebut tentu menjadi pertanyaan dan keresahan tersendiri bagi mereka yang beruzur akibat cacat fisik.
Ayat-ayat tersebut menyentuh Abdullah Ibnu Ummi Maktum. Ia pun langsung mengadukan kekhawatirannya kepada Rasulullah sambil berderai air mata.
"Ya Rasulullah, kalau saja mampu niscaya saya akan berjihad." katanya.
(Baca: Belajar dari Teguran terhadap Rasulullah)
Mendengar perkataan lirih Abdullah itu Rasulullah tak kuat melihat kesedihan sahabatnya yang ingin berjihad tapi tidak bisa sebab ketidaksempuranaan fisik. Rasulullah berdoa memohon petunjuk Allah.
"Ya Allah, turunkanlah ayat-Mu yang memberikan alasan yang membebaskanku.." Seketika itu Allah mengabulkan doa Rasulullah sebelum menurunkan tangannya yang sedang menengadah ke atas.
Zaid bin Tsabit, Sang Penulis wahyu mengisak. Ia berkisah, "Suatu hari aku berada di sisi Rasulullah. Tiba-tiba beliau merasa seperti dihinggapi sesuatu sehingga sejenak berdiam diri. Paha beliau terlempar ke atas pahaku, dan belum pernah aku merasa sesuatu seberat paha Rasulullah saat itu. Setelah pengaruh berat dari wahyu itu lenyap, beliau bersabda. "Wahai Zaid, tulislah."
"Tidak sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya, Allah melebihkan orang-orang yang duduk satu derajat.
Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar." (QS an-Nisa: 95).
Setelah mendengarkan wahyu itu, Abdullah langsung bertanya. "Ya Rasulullah bagaimana dengan orang yang tak punya kemampuan berjihad?"
Rasulullah lalu memerintahkan Zaid yang menuliskan wahyu. "Bacalah apa telah kau tulis wahai Zaid?"
"Tidak sama antara mukmin yang duduk yang tidak ikut berperang," kata Zaid
Ayat ini memberi pengecualian bagi mereka yang beruzur untuk ikut berperang. Mereka dibebaskan dari kewajiban berperang.
Dari kisah di atas bisa kita ambil dua pelajaran ?sekaligus. Pertama, kita mesti ramah tehadap sesame, meski sesama kita tersebut belum tentu lebih baik dari kita dalam hal fisik. Karena Allah SWT melarang kita saling merendahkan sesama seperti dijelaskan dalam surat al-Hujaraat ayat ke-11.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.
Serta janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka Itulah orang-orang yang zalim."
Pelajaran kedua dari kisah di atas tadi dan bisa menjadi memotivasi, kita sebagai orang yang belum memiliki ilmu tidak perlu berkecil hati. Karena meski baru niatnya saja Allah akan memberikan pahala terhadap apa yang diniatkannya jika itu baik.
Seperti disampaikan Rasulullah SAW mengenai niat yang kuat akan mendatangkan pahala besar dari Allah SWT: "Barang siapa berniat untuk melakukan kebaikan lalu tidak jadi melakukannya maka Allah mencatat di sisi-Nya satu kebaikan sempurna.
Dan jika ia berniat untuk melakukannya lalu melakukannya maka Allah mencatatnya sepuluh kebaikan sampai tujuh puluh kali lipat sampai berlipat-lipat yang banyak." (HR Bukhari dan Muslim)