Selasa 09 Aug 2016 17:58 WIB

Refleksi Fenomena Sosial Lewat 'Petuah Tampah'

Rep: Zuli Istiqomah/ Red: Friska Yolanda
Petuah Tampah oleh Teater Djarum
Foto: Mahmud Muhyidin
Petuah Tampah oleh Teater Djarum

REPUBLIKA.CO.ID, Teater Djarum kembali unjuk gigi. Kali ini, teater tersebut menampilkan sebuah lakon teater berjudul 'Petuah Tampah' di Saung Angkung Udjo, Kota Bandung beberapa waktu lalu. Pertunjukan yang dimaksudkan menjadi ekspresi kritik sosial terhadap perubahan jati diri manusia akibat kemajuan teknologi komunikasi yang mengoyak nilai-nilai kearifan warisan leluhur.

Adalah Tyas, sang lakon utama. Perempuan ini diceritakan terbawa pada beringasnya kehidupan di tengah kondisi lingkungan yang berbeda-beda.

Lakon ini dimulai dengan latar seorang perempuan, Tyas, yang tengah duduk di atas tempat sampah. Ia adalah perempuan yang terlahir dalam kondisi suci, bersih, tanpa dosa.

Namun, kerasnya kehidupan dunia memberikan pengaruh terhadap Tyas. Sejumlah fragmen adegan yang ditampilkan secara acak menampilkan keadaan-keadaan yang akhirnya mempengaruhi perilaku Tyas.

“Di mana Tuhan? Aku sendirian. Aku mendengar kemarahan. Aku mendengar letupan dendam. Aku juga mendengar tangis yang tak bisa dihentikan. Itu amat menakutkan,” sepotong dialog Tyas di tengah ketakutan.

Pada saatnya, karena gairahnya, Tyas keluar dari kampung halamannya. Demi perasaan setara, seiring dan perasaan sama dengan orang-orang yang disaksikannya: konsumtif, gaya hidup metropolitan, gerakan cepat untuk perubahan cepat yang ingin digapainya secara instan.

Adegan berubah berlatar di sebuah perkampungan. Tyas bisa memikat hati rakyat. Menjanjikan mereka harkat, martabat dan derajat meningkat. Ia menyumpal mulut warga untuk mendapat popularitas.

“Semua orang itu sama. Munafik kalau ada maunya,” kata Tyas.

Tyas mendekati petinggi kampung yang tak lain seorang bupati. Ia merayunya, meminta jabatan strategis. Setelah keinginan itu diperolehnya, adegan berujung pada penembakan sang bupati.

Lakon beralih di perkantoran. Tampil menggoda, Tyas merayu bos besar, mencuri perhatian dengan ajakan pergumulan yang juga menyebabkan bos mata keranjang menggelepar tewas.

Tyas merasa semua mencintainya. Ia membagi-bagikan emas ke warga. Warga memuja-muja.

Tapi nyatanya, tak semua berjalan sesuai keinginannya. Zaman semakin canggih. Kemajuan teknologi merubah segalanya.

Gairah berlebihan akan teknologi menihilkan komunikasi antarmata, ucapan, dan belaian. Juga, menyebabkan hilangnya uluran tangan dan kehangatan lingkungan.

Ini tergambar pada adegan sekelompok manusia asyik dengan ponsel. Semua sibuk dengan kegiatannya sendiri-sendiri. Tyas merasa tidak ada lagi yang peduli. 

Di situlah puncak kemarahan Tyas. Puncak kebingungan. Puncak ketidaktahuan. Puncak penyesalan.

“Anakku dimana?” ucap Tyas.

Sesaat kemudian, semua warga berkumpul. Menabuhkan tampah mencari anak Tyas. Gotong royong yang selama ini didamba Tyas.

Tyas mendapatkan kembali arti kehidupannya. Mendapatkan hubungan dengan para leluhur dan sahabat yang senantiasa menjanjikan keistimewaan hubungan penuh kehangatan.

Ia kembali ke tanah airnya, ke kampung halamannya. Di sana, ia mendapatkan ketenangan yang tak didapatkan di kota besar yang semakin acuh tak acuh seiring perkembangan teknologi.

Pertunjukan teater ‘Petuah Tampah’ ini terbilang sedikit sulit dipahami. Hal ini karena adegan yang disajikan secara acak dan tak berkaitan satu sama lain. Bahkan, salah seorang penonton di akhir cerita juga menyatakan kesulitannya memahami arti petuah tampah dalam drama yang disajikan.

Sang Sutradara Asa Jatmiko mengatakan, rangkaian adegan menyiratkan banyak pesan perihal nilai budaya. Tampah merupakan salah satu alat tradisional yang mempunyai makna metafora sebagai pengingat jati diri budaya. Karenanya, makna batasan yang tersirat pada sebuah tampah menjadi simbol yang selalu dihadirkan di setiap adegan.

“Biarkan teman-teman yang menikmati mendapati sendiri maksudnya. Kalau di Jawa Tengah, kami ekplorasi sebagai sikap batin sikap kita secara pribadi bukan hanya menerima tapi juga memfilter mana baik dan tidak,” kata Asa.

Menurutnya, inti yang ingin disampaikan dalam teater tersebut adalah kritikan sosial dari realitas pengalaman yang terjadi saat ini. Saat ini, manusia lupa akan segala yang diturunkan leluhur tentang moral berkehidupan.

“Beberapa isi cerita dari realitas yang ingin merefleksikan gejala sosial yang saat ini ada. Kegilaan akan teknologi dan kecanggihan teknologi menjadi ego. Kita haus akan tatap muka. Tampah mengingatkan kita untuk berkumpul kembali,” tutur Asa kepada Republika.

Sodoran cerita yang merenyuh perasaan disertakan dengan adegan bernuasa humor yang membuat lebih menarik. Improvisasi para aktor melalui isyarat gerak, dan dialog menguatkan kesan kejenakaan, berhasil membuat penonton tertawa terbahak-bahak. 

Pertunjukan teater ini didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation bersama Teater Djarum sebagai salah satu upaya mengkampanyekan pesan-pesan positif melalui kebijaksanaannya budaya leluhur khususnya timur, Indonesia. Pertunjukan 'Petuah Tampah' ini merupakan pertunjukan keempat dimana sebelumnya telah dipentaskan di Gedung Kesenian Jepara (Jepara), Auditorium Galeri Indonesia Kaya (Jakarta) dan Balai Budaya Rejosari (Kudus). Setelah digelar di Bandung,  Petuah Tampah masih akan hadir di beberapa tempat, antara lain di Omah Petroek Sindhunata Yogyakarta, Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah Surakarta, Taman Budaya Cak Durasim Solo, dan Temanggung.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement