Rabu 10 Aug 2016 18:43 WIB

Masjid Agung Manonjaya Saksi Geliat Syiar Islam Tasikmalaya

Rep: Fuji E Permana/ Red: Agung Sasongko
Masjid Agung Manonjaya
Foto: Republika/Fuji EP
Masjid Agung Manonjaya

REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA -- Pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Wiradadaha VIII, wilayah Sukapura yang merupakan wilayah kekuasaannya dibagi menjadi tiga wilayah. Di antaranya, Sukapura Kolot, Sukapura dan Tasikmalaya. Wilayah Sukapura memiliki luas sekitar 260 ribu hektare. Jumlah penduduknya pada tahun 1831 sebanyak 4.687 warega pribu mi, 22 orang warga keturunan Cina dan enam orang warga asing.

Di 1832, Raden Wiradadaha memindahkan ibu kota Sukapura. Dari catatan sejarah yang dimiliki juru pelihara masjid, ibu kota dari Leuwiloa di Sukaraja hendak dipindahkan ke Harjawinangun (kini menjadi Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya). Namun, untuk membangun ibu kota membutuhkan waktu sekitar dua tahun.

Pembangunannya dipimpin oleh Patih Raden Tumenggung Danuningrat. Ia mempunyai tugas untuk membangun ibu kota Sukapura di tempat yang baru. Baru secara resmi ibu kota Sukapura pindah ke Harjawiangun pada 1834.

(Baca: Masjid Agung Manonjaya Kaya Sejarah)

Dari catatan sejarah, Raden Danuningrat dalam merencanakan tata ruang Kota Harjawinangun berpedoman pada Masjid Kecil. Masjid tersebut telah ada sebelum pembangunan Masjid Agung Manonjaya. “Masjid tersebutlah cikal bakal Masid Agung Ma nonjaya,” kata Rusliana. Adanya masjid kecil tersebut menandakan pada masa itu pemeluk agama Islam te lah banyak di wilayah Sukapura. Adanya Masjid Agung Manonjaya memiliki peran penting. Karena pada masa lalu, banyak kegiatan keagamaan yang dilakukan di Mas jid tersebut.

Selain itu keberadaan masjid juga membuat masyarakat semakin mudah menjalankan shalat berjamaah dan melakukan kegiatan keagamaan lainnya. Seiring populasi penduduk terus bertambah, Masjid juga mengalami pelebaran di 837. Kemudian ditambah dengan membuat alun-alun di depan masjid.

Sampai saat ini bangunan inti Masjid Agung Manonjaya tetap seperti saat pertama kali dibangun. Hanya saja ada pelebaran serambi yang dilakukan pada tahun 1889 oleh Raden Tumenggung A Wiraatmaja. Setelah itu masyarakat memutuskan untuk tidak meng ubah postur bangunan Masjid lagi.

Masjid juga pernah terkena gempa pada tahun 1977. Sehingga serambi masjid rusak. Kemudian dilakukan pembaharuan, tapi dengan membuat bentuk persis seperti semula saat dibangun. Tidak ditambahi atau pun dikurangi. Dibelakang masjid terdapat bangunan tempat anakanak belajar mengaji dan membaca kitab. Ustaz Zamzam yang menjadi juru kunci masjid juga menjadi guru me ngaji anak-anak. Pada 2012, banyak Mahasiswa yang ingin ikut belajar membaca kitab di sana.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement