REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Informasi yang menganggap Partai Komunis Indonesia (PKI) tak bermasalah mulai dimasukkan pelan-pelan dalam kurikulum sejarah saat ini. Tak hanya itu, mereka seakan dianggap korban dari negara/tentara yang terjadi pada 1965, meski pada faktanya tidak sedikit warga yang menjadi korban kekejaman PKI.
Kegelisahan ini terungkap dalam diskusi "Bela Negara dan Pancasila dalam Perspektif Sejarah (Menelaah Kritis Kritis Buku Sejarah 'Ayat-ayat yang Disembelih' Karya Thowaf Zuharon dan Anab Afifi)" yang diselenggarakan Benteng Budaya di Gedung Dewan Perwakilan Daerah DIY, Kamis (11/8).
Menurut dosen Fakultas Filsafat UGM Sindung Cahyadi, sebetulnya peristiwa pembantaian pada 1965 terhadap mereka yang dianggap PKI (Partai Komunis Indonesia) merupakan "sekam yang kering". Menurut dia, menyalahkan pemerintah/TNI atas peristiwa1965 adalah langkah yang tidak pada tempatnya. Sebab, ada hubungan kausal dan itu harus dilihat secara komprehensif.
"Sejak kecil hingga dewasa saya tinggal di wilayah sumber konflik PKI di tahun 1948 maupun 1965. Di wilayah saya terjadi kekerasan yang dilakukan oleh PKI sejak 1948 hingga 1965," tuturnya. Waktu itu, kata dia, yang berseteru secara ideologis dan saling membunuh itu bukan siapa-siapa, melainkan saudara sendiri.
Baca juga, Pengadilan Rakyat Belanda Nyatakan Indonesia Bersalah Atas Pembunuhan Anggota PKI.
Hal itu juga disampaikan penulis buku Ayat-ayat yang Disembelih Thowaf Zuharon. Banyak masyarakat yang menjadi korban kekejaman PKI pada kurun waktu 1926-1968. Hal itu terjadi dari ujung Pulau Sumatra hingga Pulau Bali. Bahkan, korbannya mulia dari kiai, santri, gubernur, bupati, wedana, camat, kepala desa, adik RA Kartini, hingga rakyat kecil.