REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Mahkamah Konstitusi (MK) diyakini tidak akan mengabulkan judicial review yang diajukan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama. Permohonan itu dinilai bisa menimbulkan kegaduhan dan kekacauan pemerintahan jika dikabulkan.
"Pejawat yang tidak ingin cuti atau mundur saat ikut pilkada lagi bukan Ahok saja, tapi banyak. Kalau itu dikabulkan, maka bisa menimbulkan masalah di pemerintahan," kata Ahli Hukum Tata Negara Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, Mirdedi di Nusa Dua, Bali, Jumat (12/8).
Mirdedi mengatakan, dalam memutus setiap perkara, MK senantiasa berpegang pada tiga hal, yaitu aspek keadilan, ditegakkannya konstitusi, dan asas kemanfaatannya bagi semua pihak. Sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, seorang pejawat harus cuti ataupun mengundurkan diri karena keinginannya untuk mecalonkan diri pada periode berikutnya.
Aturan itu dapat memberikan kesetaraan pada para caon. "Kalau pejawat tidak cuti, itu kan tidak adil bagi calon lain. Ini juga rawan bagi digunakannya jabatan untuk kepentingan diri sendiri dalam meraih kekuasaan," kata Mirdedi.
Menurut dia, setiap orang harus diperlakukan sama di mata hukum, di mana jika MK mengabulkan permohonan JR Ahok, itu dianggap para calon itu tidak sama dalam perlakuan hukum. Karena prinsip hukumnya jelas Mirdedi, setiap bakal calon mempunyai hak yang sama.
Tentang alasan Ahok karena tidak ada yang bisa mengawasi penyusunan anggaran, Mirdedi menilai itu karena secara kebetulan saja momentum pilkada berbarengan dengan waktu penyusunan anggaran. "Bagaimana dengan daerah lain, atau bila momentumnya berbeda. Apakah tidak harus cuti juga?" kata Mirdedi.
Mengenai wacana bahwa MK kemungkinan akan berada dalam tekanan Presiden Joko Widodo untuk mengabulkan permohonan JR Ahok, Mirdedi berpendapat hal itu tidak akan terjadi. Dari penjelasan Ketua MA, kata dia, Presiden Jokowi adalah orang yang sangat taat pada asas.
"Presiden adalah orang yang senantiasa berpegang pada konstitusi," kata Mirdedi menirukan penjelasan Ketua MK.