REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pemerintah menghilangkan justice collaborator (JC) sebagai salah satu syarat narapidana kejahatan luar biasa untuk mendapatkan remisi bukan hanya menguntungkan para napi kasus korupsi saja.
Tetapi juga rencana merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang syarat remisi itu bisa berimplikasi terhadap pengungkapan kasus korupsi ke depan.
Hal ini karena dalam PP ini sebelumnya napi korupsi hanya akan menerima remisi dan pembebasan bersyarat jika ia berstatus sebagai JC atau mau bekerjasama mengungkap kejahatan kasus tersebut.
"Padahal ini dianggap sebagai 'reward' untuk membantu mengungkap perkara korupsi yang lebih besar," ujar peneliti bidang divisi hukum dan monitoring peradilan, Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Ester di Jakarta, Sabtu (13/8).
Ia khawatir, dengan dihapusnya JC sebagai syarat remisi napi koruptor, membuat para koruptor enggan membuka kejahatan yang ada dalam kasusnya tersebut. Hal ini tentu juga kata Lola, mengancam pengungkapan kasus korupsi ke depan.
"Para pelaku korupsi akan enggan untuk bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam membantu dan menjerat aktor-aktor lain," kata Lola.
Selain itu, dihapusnya JC sebagai syarat remisi memberi peluang penilaian subjektif dari setiap Kepala Lembaga Pemasyarakatan untuk memberi remisi secara mudah kepada koruptor. Tak menutup kemungkinan juga, akan ada permainan pihak-pihak terhadap pemberian remisi tersebut.