REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi Abdurrachman membantah dirinya merupakan promotor untuk penanganan sejumlah kasus. Hal itu ia tegaskan menyusul pertanyaan jaksa dan hakim dalam persidangan terdakwa suap pengurusan perkara anak usaha Lipoo Grup, Doddy Ariyanto Supeno di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (15/8).
Saat itu, baik jaksa maupun hakim menanyainya istilah 'promotor' kepada Nurhadi. Istilah promotot ini muncul dari pernyataan pegawai PT Artha Pratama Anugerah Wresti Kristian Hesti pada sidang saksi sebelumnya.
"Pada sidang lalu, Hesti mengatakan ada istilah promotor, setahu Hesti didasarkan info Pak Doddy, Pak Doddy bilang itu Pak Nurhadi," ujar majelis hakim yang diketuai Hakim Sumpeno tersebut.
Nurhadi pun dengan tegas menjawab. "Itu tegas bahwa saya tidak mengerti, kenapa nama saya bisa diganti-ganti gitu?" kata Nurhadi.
Nurhadi melanjutkan, kali ini dengan nada agak tinggi, bahwa ia merasa namanya kerap dicatut dan dijual sejumlah pihak. Ia juga sendiri mengaku tidak pernah mengenal Hesti. "Terlalu sering nama saya dijual dan dicatut, tapi saya nggak pernah ada sebutan promotor atau yang lain, nama saya Nurhadi bukan yang lain," katanya.
Tak hanya itu, Nurhadi juga mengaku jengah namanya kembali disebut dalam persidangan perkara lainnya, yakni kasus suap terkait pengurusan penundaan pengiriman salinan putusan kasasi di MA oleh Kasubdit Kasasi Perdata Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkata Perdata MA Andri Tristianto Sutrisna. Diketahui, dalam jual beli kasus yang ditangani Andri, terdapat salah satu permintaan dari seorang bernama Taufik untuk memantau perkara.
Belakangan, Taufik disebut sebagai besan mantan dari Nurhadi. "Saya sudah dikondisikan fitnah luar biasa, katanya besan saya Taufik, besan saya sudah meninggal 25 tahun lalu, apa motivasinya, bisa jadi ini orang lain jualan nama saya," kata dia.