REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA- Pada 19 Agustus mendatang, Bank Indonesia (BI) akan melakukan reformulasi suku bunga acuan dari BI Rate menjadi 7 Day Reverse Repo Rate. Suku bunga kebijakan moneter baru ini dinilai mencerminkan kondisi pasar dalam tenor jangka pendek.
Kebijakan baru ini dinilai akan mempercepat efektivitas transmisi kebijakan moneter kepada industri perbankan. Transmisi kebijakan ini diyakini akan berlangsung lebih cepat dan efektif dalam waktu kurang dari 3 bulan
Direktur Finance and Treasury PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Pahala Mansury menjelaskan, suku bunga acuan atau BI Rate sebelumnya membutuhkan waktu tiga bulan untuk ditransmisikan. Adanya kebijakan baru ini akan berimplikasi pada biaya dana (cost of fund) dan mendorong penurunan bunga deposito serta kredit secara lebih cepat.
"Dengan 7-day Repo Rate, ke depan bisa lebih cepat dari itu. Yang pasti di bawah tiga bulan," ujar Pahala dalam diskusi mengenai BI 7Day Repo Rate di Jakarta, Senin (15/8).
Menurut Pahala, dalam setahun ini, perubahan bunga kedit yang terjadi sudah lebih baik. "Karena bagi bank sendiri adalah, bagaimana bank mengelola likuiditasnya," ujar Pahala.
Pahala menjelaskan, sumber likuiditas perbankan itu berasal dari deposito sekitar Rp 4.000 triliun. Dari angka tersebut, sebanyak 55 persen merupakan time deposit. Sehingga, dengan posisi bank yang memiliki LDR (loan to deposit ratio) sebanyak 88-91 persen, lanjut Pahala, maka akan menjadi tantangan bagi bank untuk bisa mengelola likuiditasnya.
"Repo Rate ini menjadi dasar Lending Facility (LF). Kalau LF turun, bank melihat biaya untuk memanage likuiditas juga turun, barulah ada ruang penurunan bunga simpanan. Jadi LF diturunkan akan sangat positif bagi bank," tutur Pahala.
Sementara itu, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara menjelaskan, efektivitas transmisi kebijakan moneter itu direspon pasar, bergantung pada perilaku deposan dan kepercayaan diri perbankan untuk menurunkan suku bunganya. Selain itu, juga bergantung pada alternatif di luar deposito bank.
"Tapi itu tentu bagaimana perilaku deposan dan perbankan. Deposan akan melihat suku bunga deposito, SBN, sukri (Sukuk RI), dolar dan inflasi. Ini adalah mekanisme market," kata Mirza dalam kesempatan yang sama.
Sementara itu, Kepala Ekonom BCA, David Sumual menyatakan, BI 7 Day Repo Rate ini juga harus dibarengi dengan pendalaman pasar keuangan melalui cara-cara intensif menerbitkan instrumen finansial.
"Instrumen masih terbatas maka perlu pendalaman pasar keuangan. BI 7 Day Repo Rate jangan dianggap sebagai magic potion, hanya bertumpu pada kebijakan moneter juga tidak baik," ujar David.
Menurutnya, selama ini aliran likuiditas banyak masuk ke BI, sedangkan ke pemerintah sangat sedikit. Dengan demikian, ia berharap pemerintah mempunyai inisiatif meragamkan instrumen di pasar keuangan.
"Sekarang hanya SPN (Surat Perbendaharaan Negara) yang bertenor jangka pendek. Diharapkan pemerintah banyak menerbitkan instrumen SPN yang di bawah satu tahun," tuturnya.
Penambahan instrumen oleh pemerintah tersebut, kata David, diyakini juga akan memberi lebih banyak dampak positif ke sektor riil. "Kebijakan BI 7day Repo Rate bukan langsung abrakadabra, negara lain juga ada yang tidak berhasil. Pemerintah harus melakukan percepatan reformasi struktural," kata David.
Selain itu, apabila kebijakan reformulasi suku bunga ini telah berjalan efektif, maka regulator lainnya, yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak perlu mengeluarkan kebijakan capping suku bunga deposito perbankan.
"Kalau BI 7day Repo Rate diberlakukan, maka tidak perlu lagi kebijakan capping dari OJK. Karena, suku bunga perbankan akan dengan sendirinya ditentukan oleh market. Jadi, ke depannya tidak perlu lagi ada capping," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, pada 19 Agustus 2016 BI akan mulai menerapkan BI 7-day Reverse Repo Rate sebagai suku bunga acuan yang baru. Tercatat hingga Juli 2016, BI 7-Day Reverse Repo Rate berada pada level 5,25 persen dan BI Rate pada level 6,50 persen dengan suku bunga Deposit Facility 4,50 persen dan Lending Facility sebesar 7 persen.
Sementara itu untuk mendukung kebijakan ini, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 18/11/PBI/2016 tentang Pasar Uang pada Jumat (12/8) lalu.
Mirza menyebutkan, dengan diterbitkannya PBI tersebut, pasar uang bisa lebih berkembang sehingga meningkatkan efektifitas transmisi kebijakan moneter.