REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 1506, Barawa jatuh ke tangan bangsa Portugis. Barawa pun menjadi pelabuhan utama Portugis.
Namun, pada 1758 Barawa berhasil dibebaskan dari pengaruh Portugis, kemudian berada di bawah kekuasaan Kesultanan Zanzibar. Pada 1889, Sultan Zanzibar dipaksa menyetujui aneksasi Pelabuhan Banadir oleh rezim kolonial Italia dan Barawa pun jatuh ke tangan Italia.
Menolak dijajah Italia, ulama setempat, Syekh Uways al-Baarawi, mengumpulkan kaum pria dan menyemangati mereka untuk mengo bar kan Pemberontakan Banadir. Namun, aksi mereka gagal. Mereka dipukul mundur oleh Italia.
(Baca: Barawa, Pulau Islam di Pesisir Somalia)
Syekh Uways kemudian hijrah ke Biyoley dan mengonsolidasikan kembali pasukannya. Belum sempat memetik kemenangan, Shekh Uways terbunuh pada 1909. Khalif Shekh Faraj, pengganti Syekh Uways, juga tewas terbunuh pada 1925.
Kematian Syekh Uways tidak menghentikan perjuangan masyarakat Barawa dalam meraih kemerdekaan. Pasukan Shekh Uways yang menamai diri mereka sebagai martir Shekh Uways muncul dari seluruh penjuru Somalia Selatan dan Afrika Timur.
Mereka membentuk organisasi politik yang menjadi cikal bakal munculnya banyak tokoh politik. Berawal dari organisasi inilah kemudian terbentuk partai-partai politik di era Somalia modern. Contohnya, cucu Shekh Uwais, Abdul kadir Sakhawuddin mendirikan Organisasi Pemuda Somalia (SYC) pada 1943.
(Baca: Barawa dalam Catatan Al-Idrisi)
Selain Syekh Uwais, Barawa juga memiliki ulama besar yang membanggakan di bidang hukum Islam, tafsir, dan sastra sufi. Di antara nya, Shekh Nureini Sabiri, Shekh Qassim al-Ba raawi, Shekh Ma'llim Nuri, dan penyair perem puan Dada Masiti.
Kejayaan Barawa mulai luntur pada masa kolonial, utamanya ketika dibangun pelabuhan yang lebih canggih di kota lain, yakni Marka dan Mogadishu. Celakanya, pemerintahan Ba rawa pascakemerdekaan kurang memperhati kan pembangunan dan kemajuan kotanya.
Pada 1974, Barawa semakin terpuruk dengan adanya program permukiman pengungsi di Sablaale. Sebanyak 5.000 dari 30 ribu pengungsi ditempatkan di Barawa. Di Barawa, orang-orang yang mengungsi karena kampung halamannya dilanda kekeringan itu diajari tentang pertanian dan perikanan. Sayangnya, mereka gagal mempraktikkan ilmu itu. Para pendatang baru ini membuat Barawa menjadi kota dengan pola kehidupan nomaden. Akibat nya, banyak masyarakat asli Barawa yang ang kat kaki dari kota ini. Akibatnya, Barawa tum buh menjadi kota yang tak berkarakter dan jauh dari kemakmuran.
Ketika perang saudara berkecamuk, Barawa mengalami keterpurukan yang sangat luar biasa. Sebagian besar isi kota ini dijarah dan hancur oleh serangan perampok. Bahkan, Barawa disebut-sebut sebagai kota hantu. Masyara kat asli Barawa yang berhasil lolos dari perang menyelamatkan diri ke kamp-kamp pengungsi dan sebagian lainnya pergi ke negara-negaranegara tetangga.